Sabtu, 17 Januari 2015

TINJAUAN RIBA DALAM PENYIMPANGAN PRAKTEK AKAD MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH




TINJAUAN RIBA DALAM PENYIMPANGAN PRAKTEK
AKAD MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH

Irwin Ananta, S.E, MM

Akademi Manajemen Informatika & Komputer Bina Sarana Informatika
Jln.RS. Fatmawati  No. 24 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Indonesia
Email : irwin.iav@bsi.ac.id
 
Abstrak Marak munculnya Perkembangan bank syariah beberapa dekade belakangan ini merupakan bagian dari refleksi kesadaran umat islam Indonesia terhadap permasalahan syariah, besarnya dosa riba dan kemudharatan lain dari praktek bunga bank selama ini yang dianggap manifestasi dari kegiatan rentenir yang terorganisir serta secara struktur kedepan rentan dapat merusak perekonomian, merendahkan harkat martabat kemanusiaan, karena hakekat dibalik riba juga terdapat penindasan kemanusiaan. Dengan Adanya potensi pasar yang besar di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia dan gencarnya para da’i menyampaikan risalah atas keharamannyanya transaksi riba yang didukung fatwa MUI soal itu mendorong masyarakat dan pebisnis muslim mencari alternatif lembaga keuangan lain sebagai solusi yang menjanjikan muamalah bebas riba diantaranya ialah solusi produk jasa yang ditawarkan oleh bank syariah. Layanan jasa yang menjadi core bisnis bank syariah ialah akad mudharabahnya. Dengan iming-iming sebagai layanan jasa perbankan yang mengklaim sebagai solusi layanan jasa keuangan  yang bebas riba dan bebas dari pelanggaran syariah. Produk perbankan syariah dalam bentuk tabungan umumnya menggunakan akad mudharabah dan layanan lainnya ada juga yang berakad wadi’ah. Maka menjadi menarik untuk kita cermati lebih mendalam diantara penerapan praktek perbankan syariah saat ini dengan membandingkan instrumen undang-undangnya dengan berbagai ketentuan syariah baik yang sudah diakomodir dalam kompilasi fatwa Dewan syariah Nasional maupun dengan ketentuan lain yang terdapat dalam kitab kajian fikih muamalah para ulama salaf,  ternyata secara substansialnya pada praktek mudharabah perbankan syariah di Indonesia saat ini masih ditemukan adanya berbagai kesamaan konsep dengan bank konvensional. Hal inilah yang membuat praktek perbankan syariah saat ini masih belum benar-benar selaras denga ketentuan syariah.Sejumlah temuan penyimpangan dalam praktek perbankan syariah diantaranya yang berhubungan dalam akad mudharabah yang merupakan core bisnis dari bank syariah itu sendiri. Dalam penyimpangan-penyimpangan praktek tersebut ditemukan secara substansi bank syariah melakukan pelanggaran terhadap syariah yang dapat menyeretnya pada transaksi ribawi. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut, karena praktek penyimpangan yang dilakukan bank syariah dalam hal ini sama juga melakukan rekayasa terhadap akad syariah yakni mengkamuflase produk riba kemasan layanan jasa syariah.  Maka dengan tulisan ini dan juga berbagai solusi yang akan ditawarkan diharapkan dapat  menyempurnakan prinsip dan cara kerja bank syariah untuk benar-benar bebas dan bersih dari riba Serta menjadi wacana yang bisa dipahami dan segera di aplikasikan dalam  realisasi perbankan yang benar-benar sesuai syariah diwaktu mendatang.

Kata kunci: Mudharabah, Perbankan Syari’ah, Islamic Banking

Abstract - The development of Islamic banks in recent decades is part of a conscious reflection of Indonesian Muslims against sharia issue, the magnitude of the sin of usury and other dangers of the practice of bank interest is a manifestations of organizational activities of loan sharks who can destroy the economy in the future in a structured, degrading human dignity, because the essence behind usury also contain human oppression. With the huge market potential in Indonesia as the largest Muslim country in the world and the preachers unrelenting in communicating messages prohibition of riba transactions supported MUI fatwa about it to encourage people and businesses looking for an alternative Islamic financial institutions as a promising solution without usury as service products offered by Islamic banks. Services that become core business of Islamic banks is mudaraba. With the lure of a banking service that claims to be a solution that is free of financial services free of usury and breach of sharia. Islamic banking products in the form of savings generally use mudaraba agreement and there are also other services that wadiah agreement. Then it becomes interesting for us look at this more in depth between the application of the current practice of Islamic banking instruments by comparing its laws with the various provisions of sharia are either already contained in the National Fatwa Council of sharia or with other provisions contained in the books of fiqh studies muamalah the scholars of the Salaf, in substance on the practice mudaraba Islamic banking in Indonesia is still found a variety of concepts in common with conventional banks. This makes the practice of Islamic banking is still not completely aligned premises Shariah. Some of the findings of irregularities in Islamic banking practices relating them in mudharabah which is the core business of Islamic banks themselves. In practice deviations found in the substance of Islamic banks that violates sharia can be dragged with the transaction of usury. This condition should not be allowed to go on, because the irregularities practices by Islamic banks in this case the same is also engineered to disguise usury in the contract packaging Sharia. So with this paper and also offers a range of solutions that would be expected to enhance the principles and practices of Islamic banks for totally free and clean of usury and discourse that can be readily understood and applied in the realization of Shariah compliance is really banking on future front.

Keywords: Mudaraba, Shariah Banking, Islamic Banking



I. PENDAHULUAN

Besarnya potensi pasar perbankan syariah di Indonesia saat ini bisa dilihat dari marak  munculnya sejumlah bank-bank syariah atau bank konvensional yang mengubah diri menjadi unit-unit khusus syariah pada beberapa dekade belakangan ini. Hal ini yang seolah bisa menjadi indikator telah munculnya kesadaran sebagian umat Islam di Indonesia terhadap penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermuamalah yang bebas dari praktek riba dan praktek aktifitas bisnis (muamalah) haram lainnya. Keberadaan bank-bank konvensional selama ini dianggap tidak mampu mengakomodir tuntutan perubahan sistem yang diharapkan umat Islam. Praktek bunga bank yang secara substansinya tidak berbeda dengan praktek bunga uang dalam sistem ribawi selain itu pada bank konvensional juga nyata-nyata masih tidak memperdulikan pemutaran uang nasabah apakah untuk investasi dalam bisnis yang di halalkan atau di haramkan menurut ketentuan syariat Islam. Di saat umat Islam mulai menyadari dengan kebutuhan tersebut maka saat itulah mulai muncul perbankan syariah yang berupaya menyelaraskan praktek perbankan moderen dengan ajaran Islam serta meninggalkan sistem bunga uang yang sarat dengan praktek riba dan memperhatikan pola investasi pada objek usaha yang sesuai syariah.
Adanya kebutuhan umat Islam dalam mengikuti perkembangan zaman dan pesatnya laju perekonomian yang banyak bergantung dengan aktifitas perbankan. Maka para konseptor perbankan syariah (Islamic Bank) di Indonesia berupaya melakukan penyelarasan sistem perbankan agar bersesuaian dengan hukum Islam (syariah). Sistem yang digunakan dalam bank konvensional telah terbukti secara nyata tidak mengindahkan berbagai larangan dalam ketentuan syariah Islam, contohnya dalam layanan meminjamkan uang atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), padahal telah diketahui bersama berdasar kesepakatan para ahli ilmu (agama) /ahli fikih bahwa dalam akad muamalah pinjam meminjam didalam ketentuan syariat Islam tidak dibolehkan didalamnya dimasukan unsur komersil atau pengambilan keuntungan, hal ini disebabkan bahwa keuntungan dari transaksi pinjam meminjam adalah riba. Para ulama menegaskan hal tersebut dalam sebuah kaidah yang sangat masyur dalam ilmu fikih yaitu “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)
Selain sarat dengan aktifitas riba, aktifitas bank konvensional pun tak lepas dari berbagai aktifitas transaksi yang melanggar larangan agama Islam. Pola tujuan investasi masih terdapat juga ditemukan dalam usaha-usaha yang jelas-jelas berkategori terlarang (haram) atau usaha-usaha yang masih belum jelas terverifikasi akan kehalalan bisnisnya. Belum adanya institusi atau unit khusus dari unsur dalam bank konvensional yang dibebankan amanah tanggung jawab untuk melakukan verifikasi halal haramnya suatu objek bisnis. Maka pada aktifitas bisnis bank konvensional masih terdapat bisnis yang mengandung unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian (ghoror), minuman keras, industri/produksi makanan/minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami dan lain-lain yang dilarang dalam syariah Islam.
Karena perbankan konvensional tidak dapat menjamin lenyapnya hal-hal yang diharamkan tersebut dalam semua jalur investasinya, maka berbisnis pada sesuatu yang diharamkan juga akan menghasilkan hasil yang haram, maka bermuamalah dengan bank konvensional bisa dipahami berarti kita menolong sistem yang tidak mematuhi nilai-nilai Islam. Fatwa ulama Islam pun melarang bermuamalah dengan bank konvensional terkecuali pada hal-hal tertentu yang tidak mengandung riba dan pada kondisi yang belum ada solusi lain yang sepadan nilai maslahatnya dari lembaga keuangan lain yang lebih islami semisal penggunaan jasa transfer antar bank, jasa penitipan barang berharga (safe deposit box) dan lain-lain.
Jika dilihat dari tujuan dan latar belakang kemunculan bank-bank syariah tentu sangat pantaslah bank syariah itu untuk menuai pujian dan dukungan. Diharapkan sebagai institusi perbankan alternatif bagi umat Islam yang membutuhkan jasa perbankan tanpa riba dan aktifitas terlarang lainnya, namun seiring waktu berjalan,  saat terjadinya interaksi diantara praktisi perbankan, pengguna perbankan (nasabah) dengan para ahli ilmu (para ulama) serta dengan kajian-kajian yang mendalam maka sedikit demi sedikit mulai bermunculan temuan nyata berbagai penyimpangan yang terjadi baik dalam produk pendanaan maupun produk pembiayaannya perbankan syariah.
Permasalahan pokok yang menjadi fokus perhatian penulis dalam konteks uraian tulisan ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan seputar penyimpangan praktek akad mudharabah yang dilakukan oleh bank syariah, mengingat akad mudharabah merupakan akad muamalah paling utama yang melandasi produk perbankan syariah, akad inilah yang mendasari berbagai transaksi perbankan syariah dalam pendanaan maupun core bisnis bank syariah. Merupakan keharusan bagi kita untuk  mengatahui apakah penerapan akad mudharabah pada bank syariah sudah sesuai dengan syariah yang benar, apakah pada proses dan bagi hasilnya sudah terbebas dari unsur-unsur ribawiyah.
Tujuan penulisan di dalam tulisan ini,  penulis berupaya untuk mengurai adanya benang merah yang bisa membuktikan bahwa ada kebenaran atau ketidakbenaran seputar adanya kesamaan konsep, fungsi maupun implementasi antara praktek perbankan syariah dengan perbankan konvensional.
Jenis Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan sedang literatur yang digunakan merujuk kepada fikih muamalah islam, praktek perbankan syariah, peraturan perbankan syariah serta wawancara dan observasi langsung.
Bank konvensional yang akad bisnisnya menerapkan akad  utang piutang, pengambilan keuntungan atasnya dinamai bunga bank, Sedangkan pada bank syariah menggunakan akad mudharabah yang berpola investasi, pengambilan keuntungannya disebut bagi hasil.  Perbedaan akad yang sebenarnya jauh berbeda namun dengan aturan main yang dijalankan oleh perbankan syariah yang masih terkesan memplagiasi dan belum keluar dari garis aturan baku yang masih sama dengan peraturan perbankan konvensional sebelumnya. Maka hakekat kegiatan perbankan yang sesungguhnya terjadi dilapangan  justru dikwatirkan hanyalah trik modifikasi dan kamuflase perubahan pada tataran penamaan maupun pelabelan saja dengan menggunakan bahasa arab dan istilah akad-akad syar’i dalam fikih islam supaya terkesan sudah sesuai dengan syari’ah.

II. LANDASAN TEORI

2.1. Pemahaman seputar riba
Beralihnya sejumlah besar nasabah bank umat islam (muslim) Indonesia kepada perbankan syariah (Islamic banking) dikarenakan timbulnya kesadaran umat islam bahwa praktek bunga bank yang diterapkan oleh bank konvensional dalam sebagian besar transaksinya merupakan praktek riba yang dinamai bunga bank. Namun pengetahuan sebatas bunga bank merupakan riba saja tidaklah cukup di sinilah perlunya pengetahuan umat islam  mengenai hakekat dari riba tersebut agar tidak tertipu dengan penamaan-penamaan lain yang nampaknya baik namun hakekatnya tetap serupa dalam keburukan, sebenarnya cukup lama sebutan bunga bank atau bunga uang berhasil menipu dan mengkamuflase terhadap aktifitas praktek riba bagi masyarakat muslim indonesia, sekiranya saja dari dahulu pihak bank memberi nama sesuai dengan aslinya yakni riba bank atau riba uang mungkin tipu dayanya tidak akan menjadi bertahan menahun selama ini. Begitu juga banyak sebutan lain atau penghalusan bahasa yang secara tidak langsung menipu masyarakat sehingga manjadi tidak menyadari dampak buruk dari hakekat substansi hal tersebut, bisa kita ambil contoh seperti sebutan kata sake, bir, wiski vodka untuk sebutan lain minuman khomar, kemudian prostitusi, pekerja seks komersial untuk sebutan lain praktek pelacuran dan pelacur, sebutan undian berhadiah, porkas, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah atau SDSB (menggunakan penamaan sumbangan) untuk sebutan lain praktek perjudian, sebutan kawin kontrak untuk sebutan lain praktek perzinahan dan banyak lagi contoh lain termasuk riba dengan penamaan bunga atau penamaan bagi hasil sesuai dengan bahasan kali ini. Oleh sebab itu agar tidak tertipu dengan penamaan-penamaan, pelabelan-pelabelan yang bisa ganti berganti,  maka penting bagi kita untuk mengenal hakekat yang sebenarnya substansi dari sesuatu yang tidak skedar istilah semata. Karena sesungguhnya penamaan itu tidaklah merubah hakekat sesuatu, jika sesuatu itu buruk maka hakekatnya tetap demikian meskipun diberi nama atau label penamaan yang baik.
Agar bisa memahami riba yang tidak hanya sebatas arti bahwa riba itu bunga uang, bunga bank atau renten semata maka kita pun perlu bekal pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan riba itu agar jika ada pihak yang memakai nama label lain namun hakekatnya tetap riba juga, kita pun tetap bisa mengetahuinya. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya (2003:37) “Riba secara bahasa bisa bermakna ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.  Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil”. Ada beberapa penjelasan dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Menurut Muhammad Arifin Badri dalam bukunya (2009:2) Riba ialah suatu “akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salah satunya”. Dari definisi tersebut bisa dipahami jika riba bisa terjadi pada jual beli, pinjam meminjam, karena melanggar ketentuan yang dibenarkan syariat. Semisal contoh dari aturan  syariat ialah tidak dibolehkannya mengambil keuntungan dari utang piutang, karena akad transaksi utang piutang dalam ketentuan prinsip muamalah Islam haruslah berakad sosial dan tidak boleh di komersilkan. Menurut kaidah para ulama dalam Muhammad Arifin Badri pada artikelnya di situs pengusahamuslim.com dikatakanSetiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba. (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain). Namun pada akad transaksi yang lain adapula yang dibenarkan oleh syariat untuk mengambil keuntungan semisal dalam jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahulloh dalam buku Muhammad Arifin badri (2009: 19) mengatakan “Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barangsiapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati”. Diketahui hukum riba adalah haram menurut kesepakatan ulama Islam, dan riba masuk salah satu diantara dosa besar maka umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya, banyak sekali dalil baik dari Alqur’an maupun hadits nabi Shalallahu'alaihi wasallam yang menyatakan haram dan terlarangnya praktek riba. Perbandingan besarnya dosa riba jika dibandingkan dengan dosa lain bisa tergambar dari sejumlah hadits diantaranya yang berikut ini: “(Dosa) riba itu memiliki tujuh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan /harga diri saudaranya.” (HR Ath-Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh Al-Albani).  Keharaman praktek riba ini juga mengenai kepada setiap pihak yang terlibat dalam proses perbuatan riba tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Dari sahabat Jabir radhiaAllohuanhu ia berkata, “ Rosululloh Shalallahu'alaihi wasallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “ Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim). Demikianlah besar dan dampak meluasnya dosa akibat perbuatan riba.

2.2. Jenis-jenis riba
(cantumkan menurut siapa? : tahun: halaman) Riba secara umum diketahui bisa terjadi dalam dua hal macamnya, yaitu dalam utang  (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun) dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:





Gambar 1 : Skema Jenis-jenis Riba
Sumber:  Priastomo (2013)




1. Riba Dalam Utang (riba duyun)
Riba ini terjadi karena pengambilan manfaat tambahan terhadap utang  baik dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi jual-beli yang tidak tunai (bai’ muajjal) , contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), riba yang muncul karena semata-mata akad utang-piutang harta diantaranya :
a. Jika si Budi karyawan kantor mengajukan utang sebesar Rp. 12 juta kepada bendahara kantor dengan tempo satu tahun. Berdasar perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikuti aturan pinjam meminjam uang yang biasa berlaku di kantor tersebut maka Budi wajib mengembalikan utang  tersebut dengan cara mencicil ditambah bunga pinjamannya 1% setiap bulan, hal ini berlaku tanpa pengecualian baik pada kasus lain dengan nominal bayar menggunakan cara flat maupun fluktuatif, baik persentase bunga di hitung dari saldo awal pinjaman maupun saldo tersisa, baik nominal dari suku bunga uang besar maupun kecil, karena dalam akad pinjam meminjam, ajaran Islam tidak mempekenankan adanya akad bisnis, jadi dalam konteks pinjam meminjam yang berlaku hanya akad sosial yakni menolong. Riba pada pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad sebagaimana pada contoh ini merupakan bagian dari jenis riba jahiliyah dan ini adalah termasuk riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa syarat bunga uang apapun untuk modal usaha pihak lain, namun si peminjam mensyaratkan untuk mendapat sejumlah tertentu/prosentase dari modal pinjaman yang diberikan, serta modal pinjaman tetap wajib dikembalikan secara utuh meski prihal apapun yang terjadi menimpa atas usaha tersebut. Modus ini menggunakan istilah label bagi hasil namun hakekatnya bukan bagi hasil yang diperkenankan syariah namun ini adalah riba. Semisal pak Wendo membutuhkan bantuan modal sebesar 10 juta untuk penggarapan proyek baru selama tempo tiga bulan, kemudian beliau mengajak kepada ibu Lina untuk berinvestasi selama waktu tersebut dengan menjanjikan pengembalian modal utuh ditambah dengan bagi hasilnya 500 ribu rupiah setiap bulan tanpa mempertimbangkan usaha tersebut untung atau rugi maka ini adalah riba. Hampir serupa semacam ini juga bisa terjadi pada kasus bagi hasil dari hasil perniagaan pihak pengelola usaha kepada pihak pemodal yang mana pembagiannya tanpa melihat keuntungan maupun kerugian riil yang sesungguhnya terjadi, hal ini pun bisa jatuh pada perkara riba. Namun sangat disayangkan jika hal seperti ini pun banyak terjadi dalam muamalah di koperasi, BMT, bahkan bank-bank berlabel syariah yang tetap mengistilahkan muamalahnya dengan  label mudharabah (bagi hasil). Ciri penyimpangan ini bisa nampak pada sistem  yang mana penggunaan nilai patokan bagi hasilnya lebih melihat kepada asumsi indikator bisnis bukan kepada realita untung dan rugi riil usaha, oleh sebab itu seorang nasabah baru pun akan kebagian bagi hasil walaupun secara hakekat uang nasabah tersebut belum benar-benar digunakan dalam suatu usaha tersebut.
c. Misalkan seseorang berhutang kepada (koperasi) Rp 6.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo tiga bulan. Namun pihak koperasi mengatakan: “Bila sudah masuk jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 2%.” Maka ini pun riba walaupun diberi nama denda.
d Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan, semisal Pak Karto menggadaikan emas berupa logam mulia seberat 2 gram ke bank.  Harga pasaran emas tersebut saat itu satu juta rupiah, nilai gadai ditaksir 80% menjadi 800 ribu rupiah, maka bank berikan pinjaman kemudian bank menerapkan tarif, untuk  logam mulia 2 gram emas tersebut, biaya titip sebesar 11.800/15 hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah mesti membayar Rp 141.600.dan untuk menyimpan waktu setahun Rp 283.200, padahal pada saat yang bersamaan bank menetapkan harga penyewaan Safe Deposit Box (SDB) yang ukuran kecil saja (3x5x24inch) yang mampu menyimpan emas seberat 2 gram tersebut dengan harga hanya Rp 100 ribu per tahun, jika dilihat maka adanya selisih antara ongkos riil perawatan yang hanya  sebesar 100.000 pertahun dengan biaya titip dari pinjam gadai emas sebesar Rp 283.200. Selisih yang menunjukan telah terjadinya komersialisasi dari transaksi pinjam gadai emas tersebut dari ongkos yang semestinya maka ini pun merupakan riba, karena dalam pinjam gadaipun pihak penerima barang gadai tidak diperkenankan mengambil keuntungan apapun namun sangat disayangkan praktek ini pun sering dilakukan oleh bank, termasuk yang melabeli diri sebagai bank syariah. 
Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang tidak mesti berupa uang, jika si A berutang 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1 kg apel, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Sedangkan contoh dalam transaksi jual-beli yang tidak tunai (bai’ muajjal), riba yang muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan. sebagi berikut:
a. Apabila Pak Pablo membeli motor kepada Pak Rento secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan Pak Pablo dikenai denda berupa tambahan sebesar 5% misalnya oleh Pak Rento, maka denda ini pun merupakan riba.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh misalkan seorang kreditur bernama  Pak Kirto bersedia memberi pinjaman uang kepada Pak Nasbah dengan syarat dari pak Kirto agar Pak Nasbah harus meminjamkan kendaraannya kepada Pak Kirto selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati Pak Kirto itu merupakan riba.

2 Riba Dalam Jual-beli
Riba dalam jual-beli terjadi dalam transaksi atas enam barang komoditi tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah sholallahualaihiwasalam dalam haditsnya, namun bisa juga pada barang lain yang semakna dengan enam komoditi tersebut atau memiliki kesamaan ‘illah (alasan) dengan enam komoditi tersebut, maka hal ini berbeda dengan riba dalam utang (dain) sebagaimana bahasan sebelumnya yang bisa terjadi dalam segala macam barang.
Menurut Muhammad Abduh Tuasikal dalam situs muslim.or.id: Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.(HR. Muslim no. 1584) Dalam riwayat lain dikatakan “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Para ulama telah bersepakat mengenai komoditi riba berdasarkan nama jenis komoditi yang tersebut dalam hadits nabi Shalallahu’alaihi wasallam itu diantaranya ada enam jenis yaitu emas, perak (dua komoditi jenis ini masuk kelompok emas/perak dan alat pembayaran) maka semakna emas/perak selain dalam bentuk perhiasan atau uang demikian pula pada contoh jenis lain bisa masuk kelompok ini semisal mata uang dinar, dirham, rupiah, dollar dan lain sebagainya. Sedangkan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam (empat komoditi jenis ini masuk kelompok komoditi bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar) contoh jenis lain untuk kelompok ini yang tidak tersebut dalam hadits ialah beras, tepung terigu, jagung dan lain sebagainya.
             Gambar 2 Komoditi Riba
Sumber: Penulis

Penerapan kaidah rambu-rambu bermuamalah dengan jenis-jenis komoditi ribawi dan pengelompokannya tersebut sebagai berikut:
a.    Diwajibkan adanya dua hal : tamatsul (sama / sebanding)  dan taqabudh (serah terima di tempat / tunai) bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan seterusnya. Berdasarkan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, artinya : "Janganlah engkau menjual / membarterkan emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan." (HR. Bukhari dan Muslim).  Dalam konteks ini misalkan untuk jual beli emas dengan emas, rupiah dengan rupiah maka harus terpenuhi syarat tersebut, maka uang Rp 20.000 tidak boleh di tukar dengan uang Rp 21.000 karena tidak sebanding atau misalkan uang Rp 20.000 tidak boleh  ditukar dengan dua lembar uang Rp 10.000,- an dalam keadaan tertunda, yang mana satu lembar Rp 10.000 an diserahkan saat penukaran sedangkan yang satu lembar Rp 10.000- annya lagi disepakati tiga jam kemudian.
b.     Disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat/tunai) dan boleh tafadhul (ada kelebihan) untuk jual beli lain jenis namun masih dalam satu kelompok komoditi yang sama, misalnya pada kelompok emas/perak dan alat pembayaran seperti  emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya, rupiah dengan dollar atau sebaliknya, yen dengan ringgit atau sebaliknya. Maka dari sini bisa kita pahami bahwa kebiasaan sebagian masyarakat kita yang melakukan jual beli emas secara kredit atau tidak tunai itu terlarang dan melanggar rambu kaidah ini karena ada penundaan serah terima dari jumlah uang keseluruhan dengan emas. Sedang contoh lain pada kelompok bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar semisal kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya, beras dengan jagung atau sebaliknya, gandum dengan terigu atau sebaliknya dan lain sebaginya ini juga diperbolehkan selama terpenuhi sesuai syarat dalam hadits berikut. Berdasarkan hadits dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu , dari  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda, artinya : “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).” (HR. Muslim no. 1587). Maka dalam kasus ini boleh menukar satu dollar Amerika dengan 10 ribu rupiah, misalkan.
c.    Diperbolehkan tafadhul (ada kelebihan) dan nasi`ah (tertunda / tempo) untuk jual beli komoditi dari kelompok emas/perak dan alat pembayaran dengan komoditi kelompok bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar atau sebaliknya, Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi rahimahumullahu, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.

3. Riba Nasi’ah dan Riba fadhl
Setelah memahami kedua macam riba tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sudut pandang penundaan waktu bisa memunculkan riba nasi’ah baik yang timbul dari transaksi utang piutang maupun yang muncul dari jual beli atau pertukaran dua jenis barang secara tempo sedang jika dilihat dari sudut pandang munculnya tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan pada komoditi riba maka hal itu memunculkan riba fadhl.

2.3. Mengenal akad mudharabah
Menurut Sa’ad bin Gharir as silmi dalam buku Muhammad Arifin Badri( 2010: 131) “mudharabah adalah suatu akad dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang telah disepakati antara keduanya.” Menurut Ahmad asysyarbasyi dalam buku Muhammad Syafii Antonio ( 2003:95) “al mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Sedangkan kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut”. Dalam melakukan mudharabah harus memenuhi rukun-rukunnya, rukun-rukun mudharabah itu antara lain:
1.     Ijab dan qobul
Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah dan qobul merupakan jawaban yang mengandung persetujuan yang di ucap pihak kedua atau yang mewakilinya. Tidak ada kata-kata khusus dalam hal ini sebagaimana amalan ibadah layaknya sholat, haji dan sebagainya namun mudharabah merupakan wujud interaksi sesama manusia, sehingga teknis yang menunjukan kesepakatan kedua belah pihak dapat diungkapkan apa saja sesuai kebiasaan yang berlaku baik bisa berupa lisan maupun tulisan.
2.     Pemodal dan pelaku usaha
Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah harus memenuhi empat kriteria diantaranya orang yang merdeka maka budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi tanpa seijin tuannya, telah baligh bagi laki-laki telah diketahui sampai mencapai umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub sedang pada wanita ditandai dengan mulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil atau telah berumur lima belas tahun, berakal sehat maka orang yang mengalami gangguan jiwa  atau serupa tidak sah akad perniagaanya, dan kriteria terakhir ialah mampu membelanjakan hartanya dengan baik.
3.     Modal
Modal ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada pihak kedua (pelaku usaha) guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak kedua. Para ulama telah menyebutkan sejumlah persyaratan bagi harta yang menjadi modal akad mudharabah diantaranya diketahui jumlah modalnya oleh kedua belah pihak supaya tidak menimbulkan perselisihan dalam pembagian keuntungan, hal ini karena konsekwensi akad mudharabah yang mengembalikan modal kepada pemodal lalu kedua belah pihak berbagi keuntungan. Persyaratan berikutnya ialah penyerahan modal kepada pelaku usaha dan pelaku usaha tersebut sepenuhnya diberi kebebasan untuk menggunakan modal tersebut untuk membiayai usaha yang dilakukannya.

4.     Usaha
Dalam menjalin akad mudharabah umumnya ulama membagi atas dua bagian yakni  Mudharabah al muthlaqah (mudharabah bebas). Adalah sistem mudharabah, yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan. Kemudian ada pula Mudharabah al muqayyadah (mudharabah terbatas). Dalam hal ini, pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.
5.     Keuntungan
Tujuan utama diadakannya akad  mudharabah adalah memperoleh keuntungan kedua belah pihak, pemodal dananya berkembang dengan keuntungan dan pengusaha menikmati laba usaha (keuntungan) hasil operasi. Syarat keuntungan yang harus dipenuhi diantaranya harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak, bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan demikian pula jika ada perubahan nisbah, Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.


III. HASIL PEMBAHASAN

Melalui proses pengkajian yang mendalam berdasar berbagai sejumlah literatur fikih muamalah syari’ah, peraturan perbankan syariah dan implementasi prakteknya dengan mengambil objek riset pada bank syari’ah melalui observasi dan wawancara kepada sejumlah pihak maka penulis medapati temuan ketidaksesuaian praktek akad  Mudharabah bank syariah dengan akad mudharabah yang syar’i sesuai literatur fikih muamalah syari’ah. Hal ini bisa di tinjau dari hal-hal sebagai berikut:
1.     Status ganda perbankan syariah menyalahi ketentuan akad mudharabah sesuai syar’i menurut yang dipahami para ulama fikih muamalah islam.
Dalam menjalankan ikatan akad mudharabah terhadap para nasabah investor/penyetor dana atau dalam hal ini masyarakat umum/awam menyebutnya sebagai nasabah penabung, pihak bank syariah memposisikan diri seolah sebagai pengelola usaha (mudharib) dan setelah dana terkumpul dari pihak penabung kemudian dengan modal dari masyarakat tersebut bank syariah dalam waktu sekejap berubah status menjelma menjadi investor (shahibul maal) untuk mencari pelaku usaha (mudharib) yang sesungguhnya dalam menyalurkan modal yang bank terima tersebut.



Menyimak skenario status ganda bank syariah tersebut maka diketahui terjadi dua akad mudharabah yang dilakukan bank syariah tersebut.
a.Pertama akad mudharabah bank dengan nasabah investor/penyetor dana (penabung) ketika bank memposisikan diri sebagai pelaku usaha dengan menjanjikan keuntungan bagi hasil.
b.Kedua akad mudharabah bank dengan nasabah pelaku usaha yang sesungguhnya ketika bank memposisikan diri sebagi pemilik modal dengan meminta bagian bagi hasil.
Mudharabah yang dilakukan oleh bank syariah tersebut tidak sempurna dalam memenuhi hal-hal yang diatur dalam rukun mudharabah. Seandainya bank melakukan mudharabah dengan nasabah pelaku usaha atas ijin nasabah pemilik modal (nasabah penabung) maka sepatutnya bank tidak berhak mendapat bagian keuntungan dengan menentukan nisbah bagi hasil karena peran bank disini hanya sebagai calo perantara atau makelar dana saja, kalau pun ada bagian untuk bank sebatas upah jasa makelar dan tentu bukan bank yang berhak dalam menentukan aturan nisbah bagi hasilnya. Para ulama menjelaskan bahwa hasil keuntungan dalam akad mudharabah hanya milik pemodal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha maka tidaklah berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil keuntungan (bagi hasil). Praktek mudharabah yang dilakukan bank syariah saat ini jelas menyelisihi konsep mudharabah yang dipahami oleh para ulama terdahulu sebagaimana dijelaskan pada sejumlah kitab-kitab fikih klasik. Pernyataan yang banyak di nukil dan disetujui para ulama lain ialah dari Imam an-Nawawi rahimahullah, beliau berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya"

2.     Bank syariah hakekatnya menjalankan akad utang piutang dan bukan akad mudharabah dalam hubungannya dengan nasabah.
Melalui kamuflase dalam akad dan istilah syar’i oleh bank syariah tidaklah lantas merubah hakekat sesungguhnya dari susbtansi akad utang piutang yang tersisip dalam skenario status ganda bank tersebut. Berikut ilustrasi akad utang piutang yang tersisip dalam skenario status ganda bank syariah yang berlabel akad mudharabah: Pihak bank yang dalam status pertama menyatakan sebagai pelaku usaha dan menerima modal dari nasabah investor/penabung  (nasabah seperti kreditur dalam akad utang-piutang bank konvensional) kemudian bank tidak amanah untuk menjalankan perannya sebagai pelaku usaha sesuai akad mudharabah dimaksud namun bank syariah malah kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada pihak nasabah lain sebagai pelaku usaha yang sesungguhnya dan bank menuntut pengembalian dana seiring waktu berjalan beserta bagi hasilnya (nasabah seperti debitur dalam akad utang-piutang bank konvensional), pada kali ini bank memposisikan diri sebagai pemodal yang pada hakekatnya uang modal yang ada pada bank merupakan uang milik nasabah pada akad mudharabah pertama. Jadi substansi dari skenario status ganda perbankan ini ialah bank berupaya mengalokasikan dana terhimpun dari pihak lain yang dijanjikan akan kembali dananya beserta bagi hasilnya seiring waktu berjalan. Keuntungan bagi hasil dari suatu usaha kosong yang pada hakekatnya tidak pernah dilakukan oleh bank kecuali hanya menyalurkan dana kepada pihak lain serta mengambil keuntungan riba atasnya.
3.     Masih terdapat plagiasi aturan kegiatan usaha oleh bank syariah terhadap aturan kegiatan bank konvensional di dalam undang-undangnya sehingga menimbulkan masalah dalam implementasi akad mudharabah bank syariah.
Penjelasan Bank Indonesia dalam Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwaBank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya.” Dari pernyataan undang-undang itu jelas bahwa bank syariah ialah semacam lembaga perantara (intermediary) antara sektor yang kelebihan dana (surplus) dan sektor yang kekurangan dana (minus). Suatu aturan yang kontradiktif dengan aturan akad mudharabah itu sendiri. Akad mudharabah lebih relevan kepada akad dalam perniagaan jual beli sedangkan yang lebih relevan kepada aturan undang-undang bank syariah tersebut dalam konteks penghimpun dan penyalur dana dimaksud ialah akad pinjam meminjam maupun sumbangan yang berorientasi sosial, komersialisasi dalam akad pinjam meminjam bisa menimbulkan riba. Berikut ilustrasi kesamaan bank syariah denga konvensional menurut undang-undang tersebut:  Bank menerima simpanan berupa giro, tabungan dan deposito dari pihak kelebihan dana. Dana yang terhimpun lalu disalurkan ke pihak-pihak yang memerlukan dalam bentuk kredit/pinjaman/pembiayaan. Pihak yang kelebihan dana mendapatkan imbalan atas dana yang ditempatkan di bank yaitu berupa bunga/bagi hasil. Pada sisi lain pihak yang minus atau memanfaatkan kredit / pinjaman/pembiayaan dari bank harus membayar imbalan kepada bank berupa bunga/bagi hasil/margin. Biaya operasional dan laba bank diperoleh dari selisih imbalan yang diberikan oleh pihak yang memanfaatkan dana (debitur) dengan imbalan yang diberikan bank kepada nasabah deposan. Maka demikian tampaklah jika fungsi bank syariah sama dengan bank konvensional. Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat lalu disalurkan kepada pihak yang membutuhkan (fungsi intermediary), mekanisme fungsi intermediary penghimpunan dana nasabah dan penerapan akad mudharabah dua pihak oleh bank terhadap posisi nasabah pertama sebagai investor kemudian melakukan penyaluran pada nasabah kedua yang diposisikan sebagai pelaku usaha, maka pada hakekatnya bank hanya melakukan instrumen pendanaan utang piutang kemudian mengambil keuntungan atas transaksi tersebut maka jatuhlah pada riba. Dari sini semakin jelas jika instrumen yang mengacu pada undang-undang perbankan syariah tidak bisa kompatibel dengan akad mudharabah yang sesuai dengan prinsip syari’ah.

4.     Undang-undang Perbankan syariah tidak mengisyaratkan bank syariah untuk memiliki usaha riil dan terjun langsung dalam dunia usaha, maka dengan hal ini sesuatu yang musykil bagi bank syariah dalam menjalankan akad mudharabah pada usaha riil yang hakekatnya memang tidak pernah dimiliki.
Mengacu pada UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 4 ayat 1 dan 2 menyebutkan:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sedangkan Pasal 19  UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pada ayat (1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan ayat (2) Kegiatan usaha UUS pada poin a,b, c dan d dengan pernyataan isi poin yang sama yakni meliputi:
a.     menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.     menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.     menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.     menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Maka jelaslah semua jenis produk perbankan syari’ah hanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini menjadikan kita sulit untuk mendapatkan perbedaan antara perbankan syari’ah dan perbankan konvensional
Karena bank syariah hakekatnya tidak mempunyai usaha riil, selain memudharabahkan kembali dana nasabah maka kemungkinan lain dana nasabah pertama disalurkan dalam bisnis pembiayaan bank (murabahah) sebagai core bisnis keduanya bank syariah. Sebagai pihak yang beritikad baik dan berinvestasi dalam usaha yang dikelola bank syariah maka perlu pula bagi kita untuk mengetahui apakah bisnis yang dijalankan oleh bank syariah sudah benar dan sesuai syariah. Dalam menjalankan produk usaha pembiayaan (bai’al murabahah) maka bank syariah memposisikan diri sebagai penjual barang (skenario ini agar terpenuhinya akad syar’i, bank harus membeli dahulu barang yang akan dijual kepada konsumen) untuk sejumlah barang-barang konsumtif yang dibutuhkan seperti kendaraaan bermotor, rumah dan lainnya sesuai DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: "Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba." (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI ).
Namun adakah bank syariah yang benar-benar mempraktekan ini, dalam praktek sistem murabahah yang dilakukan bank syariah tidak bersesuaian dengan fatwa DSN seperti contoh kasus proses pembiayaan murabahah di Bank BNI syariah cabang Medan dimana nasabah diharuskan membayar uang muka (urbun) sebesar 20% dari nilai kredit yang diajukan kepada pihak developer terlebih dahulu untuk mengambil KPR dengan angsuran 10 tahun, dengan margin keuntungan sebesar 9,5% (margin biasa ditentukan terlebih dahulu oleh bank sesuai lamanya waktu angsuran). Bahkan pada kasus skema murabahah bank syariah lainnya kondisi rumah KPR tersebut saat akad belum selesai dibangun oleh developer. Dari kasus-kasus tersebut terdapat kritikan buat bank syariah yakni bank memberikan piutang buktinya nasabah membayarkan urbun ke developer dan bukan kepada bank maka ini tidak tepat dikatakan hubungan jual beli antara bank dengan konsumen, jika pun diasumsikan bahwa bank melakukan aktifitas penjualan maka bank menjual sesuatu yang sepenuhnya belum diserah terimakan kepadanya, demikian pula dengan kasus akad KPR pada skema murabahah yang diadakan sebelum rumah selesai dibangun oleh developer, maka sejumlah larangan hadits yang dilanggar bank syariah dalam kasus tersebut:
1)    Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani)
2)    Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3)    Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
4)    Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim)
5)    Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,  Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
1)    Terlarangnya menjual barang yang belum  selesai diserahterimakan.
2)    Larangan menjual barang yang belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi bahan makanan dan barang lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.
3)    Barang yang sudah dibeli harus berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual kembali kepada pihak lain.
Secara garis besarnya praktek akad pembiayaan murabahah baik untuk pembiayaan renovasi rumah, pembelian kendaraan bermotor, pembelian rumah KPR, pengadaan modal kerja maupun pengadaan barang lain pada umumnya berjalan dengan skema bank (Ba`i al-Murabahah) membelikan terlebih dahulu barang tersebut dari supplier kemudian penjual (ba’i) menjual barang tersebut pada konsumen ( musytari) melalui akad murabahah dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang telah disepakati antara ba’i dan musytari, namun dalam upaya memperkecil resiko maupun secara hakekat yang mana bank syariah tidak memiliki tempat gudang menyimpan stok barang-barang dagangannya serta tidak pula mendapat dukungan dari undang-undangnya maka dalam prakteknya diminta penyetoran uang terlebih dahulu dari nasabah (konsumen) sebagai bagian atas modal yang akan di belanjakan bank syariah kepada suplier atas barang-barang yang belum dalam penguasaan jual bank sepenuhnya. Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya ditanda-tangani sebelum ba’i mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari, dalam kontrak tersebut musytari-lah yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi yang benar. Musytari sendirilah yang menanggung semua tanggungjawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i (bank) tidak berkeinginan memikul tanggungjawab yang terkait dengan barang, karena itu segala risiko yang terkait dengannya yang secara teoritis harus ditanggung ba’i, secara efektif telah terhindarkan. Musytari (konsumen) menyelesaikan kerugian tersebut bukan dengan ba’i (bank) akan tetapi dengan pihak supplier langsung. Dari proses ini merupakan keniscayaan penyimpangan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah dan tentu saja juga terhadap ketentuan syariat. Penyimpangan syariah dalam proses serah terima ini akan terus berlangsung selama bank tidak memiliki gudang sendiri buat barang-barang yang akan dijualnya, bahkan lebih aneh lagi dalam proses pembiayaan renovasi rumah dimana pihak bank memberikan dana yang kemudian dengan sebuah surat kuasa dari ba’i (bank), konsumen (musytari) diberi amanah untuk membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkannya kemudian musytari menunjukan bukti pembelian berupa nota ataupun faktur, kejadian ini makin menjelaskan posis bank dengan konsumen lebih kepada sebagai pembiaya serta sekedar mengurus birokrasi dokumen dan bukan lazimnya seperti hubungan penjual kepada pembeli.
Dalam konsep pembiayaan murabahah secara syar’i bank memposisikan sebagai penjual dan bukan pemberi piutang, namun tidak lazimnya dalam sebuah perusahaan yang memiliki aktifitas jual beli dengan segenap stok dan mutasi persediannya, bank syari’ah tidak memiliki dan mengakui mempunyai stok dalam laporan keuangannya sebagaimana terdapat pada laporan keuangan bank maumalat dan bank syariah mandiri berikut ini :






Laporan Keuangan BSM
Nampak Akun persediaan pada neraca bersaldo nihil
Laporan Keuangan Bank Muamalat
Nampak Akun persediaan pada neraca bersaldo nihil


5.     Bank tidak siap menanggung kerugian
Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tatapi praktek bank syariah perlu ditinjau ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: "LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian." (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI). Para ulama dari berbagai madzab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil. Dalam ilmu fikih bila suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka akad persyaratan tersebut tidak sah sehingga masing-masing harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya atau akad tetap dilanjutkan dengan meninggalkan persyaratan tersebut. Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha.

6.     Nasabah Tidak siap menanggung kerugian
Ketidakpahaman serta mengikuti hawa nafsu mengejar keuntungan bisa jadi masih merupakan domain terbesar pada kelompok nasabah bank syariah,  umumnya para nasabah investor (penabung) hakikinya bukan memiliki niat dan mental berwirausaha dengan bank untuk menjalankan suatu usaha yang bisa laba dan bisa pula merugi, bisa ditanyakan sebagai uji mental kepada mereka  dan perhatikan reaksinya dengan menanyakan bagaimana jika usaha yang dikelola bank merugi sehingga dana nasabah tersebut berkurang atau habis tak bersisa, hampir bisa dipastikan umumnya nasabah akan dengan tegas menolak keadaan tersebut dan menginginkan dana yang pernah disetor itu harus aman bila tidak ada bagi hasil maka setidaknya uang mereka kembali utuh seperti semula. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa sebenarnya mereka adalah pemberi piutang kepada bank syariah, bukan pemodal. Maka keutungan yang mereka peroleh dari bank dan sebelumnya telah disepakati adalah riba.

7.     Semua nasabah mendapatkan bagi hasil
Fakta perbankan syariah sebagaimana dilansir informasi berita majalah modal dalam buku Muhammad arifin badri bahwa telah terjadi over likuiditas dimana bank syariah kebanjiran dana nasabah sebesar 6,62 triliun sementara yang berhasil digulirkan hanya 5,86 triliun sehingga tidak mampu menyalurkannya sisanya yang kemudian di simpan di Bank Indonesia dalam sertifikat Wadiah. Kejadian tersebut menunjukan Bank syariah mencampur adukan seluruh dana yang masuk kepadanya tanpa dipilah mana yang sudah disalurkan maupun yang  belum tersalur. Keanehannya tampak pada setiap akhir bulan seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Pertimbangan bank dalam membagi keuntungan hakekatnya adalah total modal bukan keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah. Pembagian keuntungan tersebut menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar islami. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan selain merugikan nasabah yang dananya telah tersalurkan juga menunjukan indikasi adanya riba.

8.     Metode bagi hasil yang berbelit-belit
Metode hitung dan contoh kasus diambil dari buku Muhammad Arifin Badri (2010: 173-175). Berikut metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syari’ah di Indonesia:


E=Pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari   nasabah

Maka jelaslah diketahui dalam perhitungan skema diatas adalah total modal (dana) nasabah. Jika kita bandingkan  dengan metode perhitungan hasil mudharabah yang benar-benar syar’i dengan rumus hitung nya:

Bagi hasil nasabah=keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank

Perbedaan antara dua metode tersebut bisa diketahui dari contoh kasus berikut. Pak ahmad menginventasikan modal sebesar Rp 100.000.000, dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank berjumlah Rp 10.000.000.000 (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1% dari keseluruhan dana yang dikelola bank. Pada akhir bulan bank berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank setelah melalui perhitungan yang berbelit belit menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp 1000 adalah Rp 11,61. Bila menggunakan metode perbankan syariah maka hasilnya:

100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp 580.500
      1000                      100

Pak Ahmad hanya mendapat Rp 580.500, sedangkan jika menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya maka hasilnya sebagai berikut:

100.000.000 x 50 x . 1 . = Rp 5.000.000
      100                   100

Dengan metode perhitungan mudharabah yang benar Pak Ahmad mendapatkan bagi hasil yang lebih menguntungkan.

9.     Bagi hasil yang tidak riil
Menurut sumber Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa keuntungan perbankan syariah dihitung menggunakan performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi, historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil. Estimasi maupun prakiraan dan prediksi yang dijadikan dasar perhitungan keuntungan bukan dari usaha riil memiliki keserupaan dengan perhitungan bunga bank atas modal yang jauh-jauh hari bisa diketahui kisaran pasti besaran nilainya.

10. Dana Nasabah perbankan syariah pasti aman meski bank merugi
Menurut sumber Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa dana nasabah yang disimpan di bank syariah tidak akan berkurang atau hilang meskipun investasi yang dilakukan bank syariah mengalami kerugian. Di samping itu, Tabungan iB (Islamic Banking) dengan skema titipan maupun investasi juga dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai dengan Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tabungan iB, baik dengan skema titipan maupun skema investasi termasuk yang dijamin oleh LPS hingga nilai maksimal Rp 2 miliar. Menjadi jelaslah bahwa akad mudharabah yang dipraktekan bank syariah merupakan sekedar pelabelan tanpa makna, jika dana nasabah pasti aman tak akan merugi sementara jika laba pasti juga terbagi maka apa yang membedakannya dengan riba (bunga uang) pada bank konvensional.


IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data, tinjauan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.     Undang-undang perbankan syariah masih merupakan plagiasi kepada aturan perundang-undangan perbankan konvensional sebelumnya.
2.     Status ganda bank dalam akad mudharabah terhadap dua pihak (nasabah investor/penabung dan juga dengan nasabah pelaku usaha/pengguna modal) tidak sesuai dengan fikih mudharabah yang dikenal oleh para ulama.
3.     Bank syariah dan nasabah sama-sama tidak siap dalam menanggung kerugian yang merupakan keniscayaan dalam pola hubungan usaha yang bisa untung dan merugi.
4.     Selama Perbankan syariah tidak terjun langsung dalam dunia usaha dan hanya mencukupkan diri sebagai penyalur dana nasabah maka tidak akan pernah terhindar dari riba.
5.     Semua nasabah pasti mendapat bagi hasil, jaminan uang nasabah tidak akan mengalami kerugian dan perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit tidak sesuai akad mudharabah murni yang diajarkan islam

4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran yang dapat diberikan adalah:
  1. Diperlukan Political will dari pemerintah untuk merivisi undang-undang perbankan syariah
  2. Pemilahan Nasabah berdasarkan tujuan masing-masing baik yang sekedar mengamankan hartanya bank syariah bisa menerapkan akad utang piutang tanpa bunga dan nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan investasi melalui perbankan.
  3. Perbankan syariah langsung terjun ke sektor riil serta memiliki berbagai unit usaha yang nyata dan menguntungkan, maka dengan ini pula bank akan membuka lowongan kerja baru untuk melengkapi potensi sumber daya manusia bagi bisnis bank
  4. Perbankan menerapkan mudharabah sepihak dengan menerima investasi untuk kemudian membiayai unit usaha riil bank dan tidak menyalurkan lagi ke nasabah dengan skema mudharabah kedua.
  5. Memilah pos-pos investasi dari setiap pos-pos investasi para nasabah, masing-masing pos berbeda dari pos-pos lain dalam segenap operasional dan pembukuannya.
  6. Melakukan edukasi yang sistematis dan kontinyu terhadap bahaya riba, pengetahuan soal mudharabah dan menanamkan spirit muamalah islami baik terhadap masyarakat maupun pihak yang ingin bekerja pada institusi  keuangan islami.


DAFTAR REFERENSI                                     

[1]  Afifuddin, Muhammad.  2006. Macam - macam Riba. Yogyakarta.  Diambil  dari  http://asysyariah.com/macam-macam-riba.html
[2]    Antonio, Syafi’i Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
[3] Ananta, Irwin. 2012. Tinjauan Kritis Praktek Mudharabah Pada Perbankan Syariah. Bandung. Proceeding Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi (SNIT) Juni 2012, ISBN 978-602-99213-2-2 halaman E-79 – E-90. Penerbit LPPM BSI
[4] Ananta, Irwin. 2013.  Tinjauan Riba Pada  Perbankan Konvensional. Jakarta. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Akademi BSI Perspektif Vol XI No 1Maret 2013, ISSN 1411-8637 , halaman 78 - 90. Penerbit: LPPM BSI
[5] Badri, Arifin Muhammad. 2010. Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah. Bogor: Pustaka Darul Ilmi.
[6]    Badri, Arifin Muhammad. 2010. Tinjauan Kritis Perbankan Syariah. Jakarta. Makalah Seminar Nasional KPMI
[7]    Badri, Arifin Muhammad. 2010. Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba. Yogyakarta. Diambil dari http://pengusahamuslim.com/kaidah-penting-seputar-transaksi-riba-setiap-keuntungan-dari-piutang-adalah-riba#.UxBYsc6gtmN
[8]    Badri, Arifin Muhammad. 2010. Mengenal   
         Hukum Riba. Yogyakarta. Diambil dari
[9]    Bank Indonesia. 2008. Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4-6CF9-4DF5-A674-0073B0A6168A /15000/   Iktisar_uu_21_2008.pdf
[10]  Bank  Indonesia.2008.  Undang - Undang  No. 21 Tahun 2008 Tentang  Perbankan Syariah.Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A- BC75-9858774DF852/14396/UU_21_08_Syariah.pdf
[11]   Bank Indonesia.2008. Menghitung Bagi Hasil IB. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D6B8DE61-4B67-4C34-  BCB3-4959A394CE1C/17636/Menghitung_Bagi_Hasil_iB.pdf
[12]  Bank Indonesia. 2008. Mari Berbagi Hasil bersama IB. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2D0FE686-FAA7 -4369 -A064-66CFA2D9886C/17651/ Mari_ Ber bagi_Hasil.pdf
[13] Bagya Agung Prabowo. 2009. Konsep Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisa Kritis Terhadap Aplikasi Konsep Akad Murabahah Di Indonesia Dan Malaysia). Yogyakarta: Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 Januari 2009: 106 – 126. Diambil dari http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/bagya%20agung%20prabowo.pdf
[14] Bank Muamalat.2010. Laporan Keuangan   Konsolidasi PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dan Anak Perusahaan.Jakarta. Diambil darihttp://www.muamalatbank.com/assets/pdf/financial/Laporan%20Keuangan%20Publikasi%20Desember%202010%20- %20Final.pdf
[15]  Bank Syariah Mandiri. 2011. Laporan Keuangan PT Bank Syariah Mandiri dan Perusahaan Induk. Jakarta. Diambil dari  http://www.syariahmandiri.co.id/wpcontent/uploads/2010/03/LpKeu-Publis toREPUBLIKA-WARNA-1.5hal-juni2011-to-email.pdf
[16]  DSN MUI. 2000. Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiyaan Mudharabah (Qiradh). Jakarta. Diambil dari http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=:55fatwa-dsn-mui-no-no-07dsn-muiiv 2000-tentang-pembiayaan-mudharabah-qiradh-&catid=57:fatwa-dsn-ui.
[17]  DSN MUI. 2000. Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/ 2000 Tentang Pembiyaan Murabahah. Jakarta Diambil dari http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=151:fatwa-dsn-mui-no-04dsnmuiiv2000-tentang-murabahah&catid=57:fatwa-dsn-mui (01 Mei 2012)

[18]  Priastomo, Titok. 2013. Pengertian Riba, Jenis-jenis Riba, Contoh-contoh Riba. Jakarta. Diambil dari http://www.al- khilafah.org/2013/ 01/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh.html

[19]  Shomad, Abdus Muhammad. 2010. Sekilas Praktek Bank Syari’ah Di Indonesia. Jakarta. Makalah Seminar Nasional KPMI
[20]  Sugiawati. 2009. Skripsi: Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayan Murabahah di BNI Syari’ah Cabang Medan. Medan. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

[21]  Tim Redaksi.2007. Perbedaan Antara Riba Fadhl Dan Riba Nasi'ah. Jakarta. Diambil dari http://almanhaj.or.id/content/2201/slash/0/perbedaan-antara-riba-fadhl-dan-riba-nasiah/

 [22] Tuasikal Abduh Muhammad.2012.Riba dalam emas. Yogyakarta. Diambil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dalam-emas-dll-riba-fadhl.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar