AKAD
MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH
Irwin
Ananta, S.E, MM
Akademi Manajemen Informatika & Komputer Bina
Sarana Informatika
Jln.RS. Fatmawati
No. 24 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Indonesia
Email : irwin.iav@bsi.ac.id
Abstrak – Marak munculnya
Perkembangan bank syariah beberapa dekade belakangan ini merupakan bagian dari
refleksi kesadaran umat islam Indonesia terhadap permasalahan syariah, besarnya
dosa riba dan kemudharatan lain dari praktek bunga bank selama ini yang
dianggap manifestasi dari kegiatan rentenir yang terorganisir serta secara
struktur kedepan rentan dapat merusak perekonomian, merendahkan harkat martabat
kemanusiaan, karena hakekat dibalik riba juga terdapat penindasan kemanusiaan. Dengan
Adanya potensi pasar yang besar di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim
terbanyak di dunia dan gencarnya para da’i menyampaikan risalah atas
keharamannyanya transaksi riba yang didukung fatwa MUI soal itu mendorong
masyarakat dan pebisnis muslim mencari alternatif lembaga keuangan lain sebagai
solusi yang menjanjikan muamalah bebas riba diantaranya ialah solusi produk
jasa yang ditawarkan oleh bank syariah. Layanan jasa yang menjadi core bisnis
bank syariah ialah akad mudharabahnya. Dengan iming-iming sebagai layanan jasa
perbankan yang mengklaim sebagai solusi layanan jasa keuangan yang bebas riba dan bebas dari pelanggaran
syariah. Produk perbankan syariah dalam bentuk tabungan umumnya menggunakan
akad mudharabah dan layanan lainnya ada juga yang berakad wadi’ah. Maka menjadi
menarik untuk kita cermati lebih mendalam diantara penerapan praktek perbankan
syariah saat ini dengan membandingkan instrumen undang-undangnya dengan
berbagai ketentuan syariah baik yang sudah diakomodir dalam kompilasi fatwa
Dewan syariah Nasional maupun dengan ketentuan lain yang terdapat dalam kitab
kajian fikih muamalah para ulama salaf,
ternyata secara substansialnya pada praktek mudharabah perbankan syariah
di Indonesia saat ini masih ditemukan adanya berbagai kesamaan konsep dengan
bank konvensional. Hal inilah yang membuat praktek perbankan syariah saat ini
masih belum benar-benar selaras denga ketentuan syariah.Sejumlah temuan
penyimpangan dalam praktek perbankan syariah diantaranya yang berhubungan dalam
akad mudharabah yang merupakan core bisnis dari bank syariah itu sendiri. Dalam
penyimpangan-penyimpangan praktek tersebut ditemukan secara substansi bank
syariah melakukan pelanggaran terhadap syariah yang dapat menyeretnya pada transaksi
ribawi. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut, karena praktek penyimpangan
yang dilakukan bank syariah dalam hal ini sama juga melakukan rekayasa terhadap
akad syariah yakni mengkamuflase produk riba kemasan layanan jasa syariah. Maka dengan tulisan ini dan juga berbagai
solusi yang akan ditawarkan diharapkan dapat
menyempurnakan prinsip dan cara kerja bank syariah untuk benar-benar
bebas dan bersih dari riba Serta menjadi wacana yang bisa dipahami dan segera
di aplikasikan dalam realisasi perbankan
yang benar-benar sesuai syariah diwaktu mendatang.
Kata
kunci: Mudharabah, Perbankan Syari’ah,
Islamic Banking
Abstract - The development of Islamic banks in recent decades is part of a conscious reflection
of Indonesian Muslims against sharia issue, the magnitude of the sin of usury and other dangers
of the practice of bank interest is a manifestations of organizational
activities of loan sharks who can destroy the economy in the future in a
structured, degrading human dignity, because the essence behind usury also
contain human oppression. With the huge market potential in Indonesia as the
largest Muslim country in the world and the preachers unrelenting in
communicating messages prohibition of riba transactions supported MUI fatwa about
it to encourage people and businesses looking for an alternative Islamic
financial institutions as a promising solution without usury as service products
offered by Islamic banks. Services that
become core business
of Islamic banks is mudaraba. With the
lure of a banking service that claims to be a solution that is free of financial services free of usury
and breach of
sharia. Islamic banking products in the form of savings generally
use mudaraba agreement and there are also other
services that wadiah agreement. Then it
becomes interesting for us look at this more in
depth between the application of the current practice of Islamic banking instruments by comparing its laws with
the various provisions of sharia
are either already contained in the National Fatwa Council
of sharia or with other provisions contained
in the books of fiqh
studies muamalah the
scholars of the Salaf, in substance on the practice mudaraba Islamic
banking in Indonesia is still found a variety of concepts in common with conventional banks. This makes the practice of Islamic banking is still not completely aligned premises Shariah. Some of the findings
of irregularities in Islamic
banking practices relating them in mudharabah which is the core business of Islamic banks themselves. In practice deviations found in the substance of
Islamic banks that violates sharia can be dragged with the transaction of
usury. This condition should not be allowed to go on, because the
irregularities practices by Islamic banks in this case the same is also
engineered to disguise usury in the contract packaging Sharia. So with this
paper and also offers a range of solutions that would be expected to enhance
the principles and practices of Islamic banks for totally free and clean of
usury and discourse that can be readily understood and applied in the
realization of Shariah compliance is really banking on future front.
Keywords: Mudaraba, Shariah Banking, Islamic Banking
I.
PENDAHULUAN
Besarnya potensi
pasar perbankan syariah di Indonesia saat ini bisa dilihat dari marak munculnya sejumlah bank-bank syariah atau bank
konvensional yang mengubah diri menjadi unit-unit khusus syariah pada beberapa
dekade belakangan ini. Hal ini yang seolah bisa menjadi indikator telah
munculnya kesadaran sebagian umat Islam di Indonesia terhadap penerapan syariah
Islam dalam kehidupan bermuamalah yang bebas dari praktek riba dan praktek
aktifitas bisnis (muamalah) haram lainnya. Keberadaan bank-bank konvensional selama
ini dianggap tidak mampu mengakomodir tuntutan perubahan sistem yang diharapkan
umat Islam. Praktek bunga bank yang secara substansinya tidak berbeda dengan
praktek bunga uang dalam sistem ribawi selain itu pada bank konvensional juga
nyata-nyata masih tidak memperdulikan pemutaran uang nasabah apakah untuk
investasi dalam bisnis yang di halalkan atau di haramkan menurut ketentuan
syariat Islam. Di saat umat Islam mulai menyadari dengan kebutuhan tersebut
maka saat itulah mulai muncul perbankan syariah yang berupaya menyelaraskan praktek
perbankan moderen dengan ajaran Islam serta meninggalkan sistem bunga uang yang
sarat dengan praktek riba dan memperhatikan pola investasi pada objek usaha
yang sesuai syariah.
Adanya
kebutuhan umat Islam dalam mengikuti perkembangan zaman dan pesatnya laju
perekonomian yang banyak bergantung dengan aktifitas perbankan. Maka para
konseptor perbankan syariah (Islamic Bank) di Indonesia berupaya melakukan penyelarasan
sistem perbankan
agar bersesuaian dengan hukum Islam (syariah). Sistem
yang digunakan dalam bank konvensional telah terbukti secara nyata tidak
mengindahkan berbagai larangan dalam ketentuan syariah Islam, contohnya dalam
layanan meminjamkan uang atau memungut pinjaman dengan
mengenakan bunga
pinjaman (riba),
padahal telah diketahui bersama berdasar kesepakatan para ahli ilmu (agama)
/ahli fikih bahwa dalam akad muamalah pinjam meminjam didalam ketentuan syariat
Islam tidak dibolehkan didalamnya dimasukan unsur komersil atau pengambilan
keuntungan, hal ini disebabkan bahwa keuntungan dari transaksi pinjam meminjam
adalah riba. Para ulama menegaskan hal tersebut dalam sebuah kaidah yang sangat
masyur dalam ilmu fikih yaitu “Setiap piutang yang mendatangkan
kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” (baca al-Muhadzdzab oleh
asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 &
213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu
‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109
dan lain-lain)
Selain sarat
dengan aktifitas riba, aktifitas bank konvensional pun tak lepas dari berbagai
aktifitas transaksi yang melanggar larangan agama Islam. Pola tujuan investasi
masih terdapat juga ditemukan dalam usaha-usaha yang jelas-jelas berkategori
terlarang (haram)
atau usaha-usaha yang masih belum jelas terverifikasi akan kehalalan bisnisnya.
Belum adanya institusi atau unit khusus dari unsur dalam bank konvensional yang
dibebankan amanah tanggung jawab untuk melakukan verifikasi halal haramnya
suatu objek bisnis. Maka pada aktifitas bisnis bank konvensional masih terdapat
bisnis yang mengandung unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian (ghoror),
minuman keras, industri/produksi makanan/minuman haram, usaha media atau
hiburan yang tidak Islami dan lain-lain yang dilarang dalam syariah Islam.
Karena perbankan
konvensional tidak dapat menjamin lenyapnya hal-hal yang diharamkan
tersebut dalam semua jalur investasinya, maka berbisnis pada sesuatu yang
diharamkan juga akan menghasilkan hasil yang haram, maka bermuamalah dengan
bank konvensional bisa dipahami berarti kita menolong sistem yang tidak
mematuhi nilai-nilai Islam. Fatwa ulama Islam pun melarang bermuamalah dengan
bank konvensional terkecuali pada hal-hal tertentu yang tidak mengandung riba
dan pada kondisi yang belum ada solusi lain yang sepadan nilai maslahatnya dari
lembaga keuangan lain yang lebih islami semisal penggunaan jasa transfer antar
bank, jasa penitipan barang berharga (safe deposit box) dan lain-lain.
Jika dilihat
dari tujuan dan latar belakang kemunculan bank-bank syariah tentu sangat pantaslah
bank syariah itu untuk menuai pujian dan dukungan. Diharapkan sebagai institusi
perbankan alternatif bagi umat Islam yang membutuhkan jasa perbankan tanpa riba
dan aktifitas terlarang lainnya, namun seiring waktu berjalan, saat terjadinya interaksi diantara praktisi
perbankan, pengguna perbankan (nasabah) dengan para ahli ilmu (para ulama)
serta dengan kajian-kajian yang mendalam maka sedikit demi sedikit mulai
bermunculan temuan nyata berbagai penyimpangan yang terjadi baik dalam produk
pendanaan maupun produk pembiayaannya perbankan syariah.
Permasalahan
pokok yang menjadi fokus perhatian penulis dalam konteks uraian tulisan ini,
penulis hanya membatasi pada permasalahan seputar penyimpangan praktek akad
mudharabah yang dilakukan oleh bank syariah, mengingat akad mudharabah
merupakan akad muamalah paling utama yang melandasi produk perbankan syariah,
akad inilah yang mendasari berbagai transaksi perbankan syariah dalam pendanaan
maupun core bisnis bank syariah. Merupakan
keharusan bagi kita untuk mengatahui
apakah penerapan akad mudharabah pada bank syariah sudah sesuai dengan syariah yang
benar, apakah pada proses dan bagi hasilnya sudah terbebas dari unsur-unsur
ribawiyah.
Tujuan penulisan
di dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk
mengurai adanya benang merah yang bisa membuktikan bahwa ada kebenaran atau
ketidakbenaran seputar adanya kesamaan konsep, fungsi maupun implementasi antara
praktek perbankan syariah dengan perbankan konvensional.
Jenis Penelitian
yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori
dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di
lapangan sedang literatur yang digunakan merujuk kepada fikih muamalah islam,
praktek perbankan syariah, peraturan perbankan syariah serta wawancara dan
observasi langsung.
Bank
konvensional yang akad bisnisnya menerapkan akad utang piutang, pengambilan keuntungan atasnya
dinamai bunga bank, Sedangkan pada bank syariah menggunakan akad mudharabah
yang berpola investasi, pengambilan keuntungannya disebut bagi hasil. Perbedaan akad yang sebenarnya jauh berbeda
namun dengan aturan main yang dijalankan oleh perbankan syariah yang masih terkesan
memplagiasi dan belum keluar dari garis aturan baku yang masih sama dengan peraturan
perbankan konvensional sebelumnya. Maka hakekat kegiatan perbankan yang
sesungguhnya terjadi dilapangan justru
dikwatirkan hanyalah trik modifikasi dan kamuflase perubahan pada tataran penamaan
maupun pelabelan saja dengan menggunakan bahasa arab dan istilah akad-akad
syar’i dalam fikih islam supaya terkesan sudah sesuai dengan syari’ah.
II.
LANDASAN TEORI
2.1. Pemahaman
seputar riba
Beralihnya
sejumlah besar nasabah bank umat islam (muslim) Indonesia kepada perbankan
syariah (Islamic banking) dikarenakan timbulnya kesadaran umat islam bahwa
praktek bunga bank yang diterapkan oleh bank konvensional dalam sebagian besar
transaksinya merupakan praktek riba yang dinamai bunga bank. Namun pengetahuan
sebatas bunga bank merupakan riba saja tidaklah cukup di sinilah perlunya
pengetahuan umat islam mengenai hakekat
dari riba tersebut agar tidak tertipu dengan penamaan-penamaan lain yang nampaknya
baik namun hakekatnya tetap serupa dalam keburukan, sebenarnya cukup lama sebutan
bunga bank atau bunga uang berhasil menipu dan mengkamuflase terhadap aktifitas
praktek riba bagi masyarakat muslim indonesia, sekiranya saja dari dahulu pihak
bank memberi nama sesuai dengan aslinya yakni riba bank atau riba uang mungkin
tipu dayanya tidak akan menjadi bertahan menahun selama ini. Begitu juga banyak
sebutan lain atau penghalusan bahasa yang secara tidak langsung menipu
masyarakat sehingga manjadi tidak menyadari dampak buruk dari hakekat substansi
hal tersebut, bisa kita ambil contoh seperti sebutan kata sake, bir, wiski vodka
untuk sebutan lain minuman khomar, kemudian prostitusi, pekerja seks komersial
untuk sebutan lain praktek pelacuran dan pelacur, sebutan undian berhadiah,
porkas, Sumbangan
Dana Sosial Berhadiah atau SDSB (menggunakan penamaan sumbangan) untuk
sebutan lain praktek perjudian, sebutan kawin kontrak untuk sebutan lain
praktek perzinahan dan banyak lagi contoh lain termasuk riba dengan penamaan
bunga atau penamaan bagi hasil sesuai dengan bahasan kali ini. Oleh sebab itu
agar tidak tertipu dengan penamaan-penamaan, pelabelan-pelabelan yang bisa
ganti berganti, maka penting bagi kita
untuk mengenal hakekat yang sebenarnya substansi dari sesuatu yang tidak skedar
istilah semata. Karena sesungguhnya penamaan itu tidaklah merubah hakekat
sesuatu, jika sesuatu itu buruk maka hakekatnya tetap demikian meskipun diberi
nama atau label penamaan yang baik.
Agar bisa memahami
riba yang tidak hanya sebatas arti bahwa riba itu bunga uang, bunga bank atau
renten semata maka kita pun perlu bekal pengetahuan mengenai apa yang dimaksud
dengan riba itu agar jika ada pihak yang memakai nama label lain namun
hakekatnya tetap riba juga, kita pun tetap bisa mengetahuinya. Menurut Muhammad
Syafi’i Antonio dalam bukunya (2003:37) “Riba secara bahasa bisa bermakna
ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil”. Ada beberapa penjelasan dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Menurut Muhammad Arifin
Badri dalam bukunya (2009:2) Riba ialah suatu “akad/transaksi atas barang
tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut
ukuran syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek
akad atau salah satunya”. Dari definisi tersebut bisa dipahami jika riba bisa terjadi
pada jual beli, pinjam meminjam, karena melanggar ketentuan yang dibenarkan
syariat. Semisal contoh dari aturan syariat ialah tidak dibolehkannya mengambil
keuntungan dari utang piutang, karena akad transaksi utang piutang dalam ketentuan
prinsip muamalah Islam haruslah berakad sosial dan tidak boleh di komersilkan.
Menurut kaidah para ulama dalam Muhammad Arifin Badri pada artikelnya di situs
pengusahamuslim.com dikatakan“Setiap
piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzab oleh
asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 &
213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu
‘Uyun al-Basha’ir 5/187,asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109
dan lain-lain). Namun pada akad transaksi yang lain adapula
yang dibenarkan oleh syariat untuk mengambil keuntungan semisal dalam jual
beli, sewa menyewa dan lain-lain. Muhammad bin Shalih al
Utsaimin rahimahulloh dalam buku Muhammad Arifin badri (2009: 19) mengatakan
“Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barangsiapa yang
mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia
telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang
telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati”. Diketahui
hukum riba adalah haram menurut kesepakatan ulama Islam, dan riba masuk salah
satu diantara dosa besar maka umat Islam dilarang mengambil riba apapun
jenisnya, banyak sekali dalil baik dari Alqur’an maupun hadits nabi Shalallahu'alaihi wasallam yang menyatakan haram dan
terlarangnya praktek riba. Perbandingan besarnya dosa riba jika dibandingkan
dengan dosa lain bisa tergambar dari sejumlah hadits diantaranya yang berikut
ini: “(Dosa) riba itu memiliki tujuh dua pintu, yang paling ringan ialah
semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan
sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan
/harga diri saudaranya.” (HR Ath-Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh
Al-Albani). Keharaman praktek riba ini
juga mengenai kepada setiap pihak yang terlibat dalam proses perbuatan riba
tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Dari sahabat Jabir
radhiaAllohuanhu ia berkata, “ Rosululloh Shalallahu'alaihi wasallam
telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau
juga bersabda, “ Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim). Demikianlah besar dan dampak
meluasnya dosa akibat perbuatan riba.
2.2. Jenis-jenis riba
(cantumkan menurut siapa? : tahun: halaman) Riba secara umum diketahui bisa terjadi dalam dua hal
macamnya, yaitu dalam utang (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’).
Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun) dan riba
jual-beli (riba buyu’). Mari
kita tinjau satu persatu:
Gambar 1 : Skema
Jenis-jenis Riba
Sumber: Priastomo (2013)
1. Riba Dalam Utang (riba duyun)
Riba ini terjadi karena pengambilan manfaat tambahan
terhadap utang baik dalam transaksi
utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi jual-beli yang tidak
tunai (bai’ muajjal) , contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh),
riba yang muncul karena semata-mata akad utang-piutang harta diantaranya :
a. Jika si Budi karyawan kantor mengajukan utang
sebesar Rp. 12 juta kepada bendahara kantor dengan tempo satu tahun. Berdasar
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikuti aturan
pinjam meminjam uang yang biasa berlaku di kantor tersebut maka Budi wajib
mengembalikan utang tersebut dengan cara
mencicil ditambah bunga pinjamannya 1% setiap bulan, hal ini berlaku tanpa
pengecualian baik pada kasus lain dengan nominal bayar menggunakan cara flat
maupun fluktuatif, baik persentase bunga di hitung dari saldo awal pinjaman
maupun saldo tersisa, baik nominal dari suku bunga uang besar maupun kecil,
karena dalam akad pinjam meminjam, ajaran Islam tidak mempekenankan adanya akad
bisnis, jadi dalam konteks pinjam meminjam yang berlaku hanya akad sosial yakni
menolong. Riba pada pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
sebagaimana pada contoh ini merupakan bagian dari jenis riba jahiliyah dan ini
adalah termasuk riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa syarat
bunga uang apapun untuk modal usaha pihak lain, namun si peminjam mensyaratkan
untuk mendapat sejumlah tertentu/prosentase dari modal pinjaman yang diberikan,
serta modal pinjaman tetap wajib dikembalikan secara utuh meski prihal apapun
yang terjadi menimpa atas usaha tersebut. Modus ini menggunakan istilah label
bagi hasil namun hakekatnya bukan bagi hasil yang diperkenankan syariah namun
ini adalah riba. Semisal pak Wendo membutuhkan bantuan modal sebesar 10 juta
untuk penggarapan proyek baru selama tempo tiga bulan, kemudian beliau mengajak
kepada ibu Lina untuk berinvestasi selama waktu tersebut dengan menjanjikan
pengembalian modal utuh ditambah dengan bagi hasilnya 500 ribu rupiah setiap
bulan tanpa mempertimbangkan usaha tersebut untung atau rugi maka ini adalah
riba. Hampir serupa semacam ini juga bisa terjadi pada kasus bagi hasil dari
hasil perniagaan pihak pengelola usaha kepada pihak pemodal yang mana pembagiannya
tanpa melihat keuntungan maupun kerugian riil yang sesungguhnya terjadi, hal
ini pun bisa jatuh pada perkara riba. Namun sangat disayangkan jika hal seperti
ini pun banyak terjadi dalam muamalah di koperasi, BMT, bahkan bank-bank berlabel
syariah yang tetap mengistilahkan muamalahnya dengan label mudharabah (bagi hasil). Ciri penyimpangan
ini bisa nampak pada sistem yang mana penggunaan
nilai patokan bagi hasilnya lebih melihat kepada asumsi indikator bisnis bukan
kepada realita untung dan rugi riil usaha, oleh sebab itu seorang nasabah baru
pun akan kebagian bagi hasil walaupun secara hakekat uang nasabah tersebut
belum benar-benar digunakan dalam suatu usaha tersebut.
c. Misalkan seseorang berhutang kepada (koperasi) Rp 6.000.000
dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo tiga bulan. Namun pihak koperasi
mengatakan: “Bila sudah masuk jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka
setiap bulannya akan dikenai denda 2%.” Maka ini pun riba walaupun diberi nama
denda.
d Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan,
semisal Pak Karto menggadaikan emas berupa logam mulia seberat 2 gram ke bank. Harga pasaran emas tersebut saat itu satu
juta rupiah, nilai gadai ditaksir 80% menjadi 800 ribu rupiah, maka bank
berikan pinjaman kemudian bank menerapkan tarif, untuk logam mulia 2 gram emas tersebut, biaya titip
sebesar 11.800/15 hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja,
nasabah mesti membayar Rp 141.600.dan untuk menyimpan waktu setahun Rp 283.200,
padahal pada saat yang bersamaan bank menetapkan harga penyewaan Safe Deposit
Box (SDB) yang ukuran kecil saja (3x5x24inch) yang mampu menyimpan emas seberat
2 gram tersebut dengan harga hanya Rp 100 ribu per tahun, jika dilihat maka
adanya selisih antara ongkos riil perawatan yang hanya sebesar 100.000 pertahun dengan biaya titip
dari pinjam gadai emas sebesar Rp 283.200. Selisih yang menunjukan telah
terjadinya komersialisasi dari transaksi pinjam gadai emas tersebut dari ongkos
yang semestinya maka ini pun merupakan riba, karena dalam pinjam gadaipun pihak
penerima barang gadai tidak diperkenankan mengambil keuntungan apapun namun
sangat disayangkan praktek ini pun sering dilakukan oleh bank, termasuk yang
melabeli diri sebagai bank syariah.
Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau
tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka,
riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang tidak mesti berupa uang,
jika si A berutang 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya
tambahan pengembalian sebesar 1 kg apel, maka tambahan tersebut merupakan riba
yang diharamkan.
Sedangkan contoh dalam transaksi jual-beli yang tidak
tunai (bai’ muajjal), riba yang muncul karena harga yang belum
diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan. sebagi berikut:
a. Apabila Pak Pablo membeli motor kepada Pak Rento
secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam
tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan Pak Pablo
dikenai denda berupa tambahan sebesar 5% misalnya oleh Pak Rento, maka denda
ini pun merupakan riba.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang
yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang,
maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang
menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh misalkan seorang kreditur
bernama Pak Kirto bersedia memberi
pinjaman uang kepada Pak Nasbah dengan syarat dari pak Kirto agar Pak Nasbah
harus meminjamkan kendaraannya kepada Pak Kirto selama satu bulan, maka manfaat
yang dinikmati Pak Kirto itu merupakan riba.
2 Riba Dalam Jual-beli
Riba dalam jual-beli terjadi dalam transaksi atas enam
barang komoditi tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah
sholallahualaihiwasalam dalam haditsnya, namun bisa juga pada barang lain yang
semakna dengan enam komoditi tersebut atau memiliki kesamaan ‘illah
(alasan) dengan enam komoditi tersebut, maka hal ini berbeda dengan riba dalam
utang (dain) sebagaimana bahasan sebelumnya yang bisa terjadi dalam segala
macam barang.
Menurut Muhammad Abduh Tuasikal dalam situs muslim.or.id:
“Jika
emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR.
Muslim no. 1584) Dalam riwayat lain dikatakan “Emas ditukar dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda
jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).”
(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Para
ulama telah bersepakat mengenai komoditi riba berdasarkan nama jenis komoditi
yang tersebut dalam hadits nabi Shalallahu’alaihi wasallam itu diantaranya ada
enam jenis yaitu emas, perak (dua komoditi jenis ini masuk kelompok emas/perak
dan alat pembayaran) maka semakna emas/perak selain dalam bentuk perhiasan atau
uang demikian pula pada contoh jenis lain bisa masuk kelompok ini semisal mata
uang dinar, dirham, rupiah, dollar dan lain sebagainya. Sedangkan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam (empat komoditi jenis ini
masuk kelompok komoditi bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar) contoh
jenis lain untuk kelompok ini yang tidak tersebut dalam hadits ialah beras,
tepung terigu, jagung dan lain sebagainya.
Gambar 2 Komoditi Riba
Sumber: Penulis
Penerapan kaidah rambu-rambu
bermuamalah dengan jenis-jenis komoditi ribawi dan pengelompokannya tersebut
sebagai berikut:
a. Diwajibkan adanya dua hal : tamatsul (sama / sebanding) dan taqabudh (serah terima di
tempat / tunai) bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan
seterusnya. Berdasarkan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, artinya : "Janganlah engkau menjual / membarterkan
emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan
sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak
malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas
lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada
di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah
hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini misalkan untuk jual beli emas dengan emas, rupiah
dengan rupiah maka harus terpenuhi syarat tersebut, maka uang Rp 20.000 tidak
boleh di tukar dengan uang Rp 21.000 karena tidak sebanding atau misalkan uang
Rp 20.000 tidak boleh ditukar dengan dua
lembar uang Rp 10.000,- an dalam keadaan tertunda, yang mana satu lembar Rp 10.000
an diserahkan saat penukaran sedangkan yang satu lembar Rp 10.000- annya lagi
disepakati tiga jam kemudian.
b. Disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat/tunai) dan boleh tafadhul (ada kelebihan) untuk jual beli lain jenis namun masih dalam satu kelompok komoditi
yang sama, misalnya pada kelompok
emas/perak dan alat pembayaran seperti emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan
mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya, rupiah dengan dollar atau
sebaliknya, yen dengan ringgit atau sebaliknya. Maka dari sini bisa kita pahami bahwa
kebiasaan sebagian masyarakat kita yang melakukan jual beli emas secara kredit
atau tidak tunai itu terlarang dan melanggar rambu kaidah ini karena ada
penundaan serah terima dari jumlah uang keseluruhan dengan emas. Sedang contoh
lain pada kelompok bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar semisal kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya,
kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya, beras dengan jagung
atau sebaliknya, gandum
dengan terigu atau sebaliknya dan lain sebaginya ini juga diperbolehkan selama
terpenuhi sesuai syarat dalam hadits berikut. Berdasarkan
hadits dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, artinya : “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun
bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila
tangan dengan tangan (kontan).” (HR. Muslim no. 1587). Maka dalam kasus ini boleh
menukar satu dollar Amerika dengan 10 ribu rupiah, misalkan.
c. Diperbolehkan tafadhul (ada
kelebihan) dan nasi`ah (tertunda
/ tempo) untuk jual beli komoditi
dari kelompok emas/perak dan alat pembayaran dengan komoditi kelompok bahan makanan yang
bisa ditimbang dan ditakar atau sebaliknya, Misalnya membeli
garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir,
Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi rahimahumullahu,
dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu,
dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
3. Riba Nasi’ah
dan Riba fadhl
Setelah
memahami kedua macam riba tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa jika
dilihat dari sudut pandang penundaan waktu bisa memunculkan riba nasi’ah baik
yang timbul dari transaksi utang piutang maupun yang muncul dari jual beli atau
pertukaran dua jenis barang secara tempo sedang jika dilihat dari sudut pandang
munculnya tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan pada
komoditi riba maka hal itu memunculkan riba fadhl.
2.3. Mengenal akad mudharabah
Menurut
Sa’ad bin Gharir as silmi dalam buku Muhammad Arifin Badri( 2010: 131) “mudharabah
adalah suatu akad dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal,
sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh
dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang telah disepakati antara
keduanya.” Menurut Ahmad asysyarbasyi
dalam buku Muhammad Syafii Antonio ( 2003:95) “al mudharabah adalah akad kerja
sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Sedangkan kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut”. Dalam melakukan mudharabah harus memenuhi rukun-rukunnya,
rukun-rukun mudharabah itu antara lain:
1. Ijab dan
qobul
Ijab
ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya
akad mudharabah dan qobul merupakan jawaban yang mengandung persetujuan yang di
ucap pihak kedua atau yang mewakilinya. Tidak ada kata-kata khusus dalam hal
ini sebagaimana amalan ibadah layaknya sholat, haji dan sebagainya namun
mudharabah merupakan wujud interaksi sesama manusia, sehingga teknis yang
menunjukan kesepakatan kedua belah pihak dapat diungkapkan apa saja sesuai
kebiasaan yang berlaku baik bisa berupa lisan maupun tulisan.
2. Pemodal
dan pelaku usaha
Orang
yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah harus memenuhi empat kriteria
diantaranya orang yang merdeka maka budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi tanpa
seijin tuannya, telah baligh bagi laki-laki telah diketahui sampai mencapai
umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub sedang pada wanita ditandai
dengan mulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil atau telah berumur lima
belas tahun, berakal sehat maka orang yang mengalami gangguan jiwa atau serupa tidak sah akad perniagaanya, dan
kriteria terakhir ialah mampu membelanjakan hartanya dengan baik.
3. Modal
Modal
ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada pihak kedua (pelaku usaha)
guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak kedua. Para ulama telah
menyebutkan sejumlah persyaratan bagi harta yang menjadi modal akad mudharabah
diantaranya diketahui jumlah modalnya oleh kedua belah pihak supaya tidak
menimbulkan perselisihan dalam pembagian keuntungan, hal ini karena konsekwensi
akad mudharabah yang mengembalikan modal kepada pemodal lalu kedua belah pihak
berbagi keuntungan. Persyaratan berikutnya ialah penyerahan modal kepada pelaku
usaha dan pelaku usaha tersebut sepenuhnya diberi kebebasan untuk menggunakan
modal tersebut untuk membiayai usaha yang dilakukannya.
4. Usaha
Dalam
menjalin akad mudharabah umumnya ulama membagi atas dua bagian yakni Mudharabah al muthlaqah (mudharabah bebas). Adalah sistem
mudharabah, yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau
investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha,
tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini
memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja
yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan. Kemudian ada pula Mudharabah al muqayyadah (mudharabah
terbatas). Dalam hal ini, pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada
pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang
dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.
5. Keuntungan
Tujuan utama
diadakannya akad mudharabah adalah
memperoleh keuntungan kedua belah pihak, pemodal dananya berkembang dengan
keuntungan dan pengusaha menikmati laba usaha (keuntungan) hasil operasi. Syarat keuntungan yang harus
dipenuhi diantaranya harus diperuntukkan
bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak, bagian
keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan demikian pula jika ada perubahan nisbah, Penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
III.
HASIL PEMBAHASAN
Melalui proses
pengkajian yang mendalam berdasar berbagai sejumlah literatur fikih muamalah
syari’ah, peraturan perbankan syariah dan implementasi prakteknya dengan mengambil
objek riset pada bank syari’ah melalui observasi dan wawancara kepada sejumlah pihak
maka penulis medapati temuan ketidaksesuaian praktek akad Mudharabah bank syariah dengan akad
mudharabah yang syar’i sesuai literatur fikih muamalah syari’ah. Hal ini bisa
di tinjau dari hal-hal sebagai berikut:
1. Status ganda perbankan
syariah menyalahi ketentuan akad mudharabah sesuai syar’i menurut yang dipahami
para ulama fikih muamalah islam.
Dalam
menjalankan ikatan akad mudharabah terhadap para nasabah investor/penyetor dana
atau dalam hal ini masyarakat umum/awam menyebutnya sebagai nasabah penabung, pihak
bank syariah memposisikan diri seolah sebagai pengelola usaha (mudharib) dan
setelah dana terkumpul dari pihak penabung kemudian dengan modal dari
masyarakat tersebut bank syariah dalam waktu sekejap berubah status menjelma
menjadi investor (shahibul
maal) untuk mencari pelaku usaha (mudharib) yang sesungguhnya dalam
menyalurkan modal yang bank terima tersebut.
Menyimak skenario status ganda
bank syariah tersebut maka diketahui terjadi dua akad mudharabah yang dilakukan
bank syariah tersebut.
a.Pertama akad mudharabah bank
dengan nasabah investor/penyetor dana (penabung) ketika bank memposisikan diri
sebagai pelaku usaha dengan menjanjikan keuntungan bagi hasil.
b.Kedua akad mudharabah bank dengan
nasabah pelaku usaha yang sesungguhnya ketika bank memposisikan diri sebagi
pemilik modal dengan meminta bagian bagi hasil.
Mudharabah yang dilakukan oleh
bank syariah tersebut tidak sempurna dalam memenuhi hal-hal yang diatur dalam
rukun mudharabah. Seandainya bank melakukan mudharabah dengan nasabah pelaku
usaha atas ijin nasabah pemilik modal (nasabah penabung) maka sepatutnya bank
tidak berhak mendapat bagian keuntungan dengan menentukan nisbah bagi hasil
karena peran bank disini hanya sebagai calo perantara atau makelar dana saja,
kalau pun ada bagian untuk bank sebatas upah jasa makelar dan tentu bukan bank
yang berhak dalam menentukan aturan nisbah bagi hasilnya. Para ulama
menjelaskan bahwa hasil keuntungan dalam akad mudharabah hanya milik pemodal
dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut
serta dalam pelaksanaan usaha maka tidaklah berhak untuk mendapatkan bagian
dari hasil keuntungan (bagi hasil). Praktek mudharabah yang dilakukan bank
syariah saat ini jelas menyelisihi konsep mudharabah yang dipahami oleh para
ulama terdahulu sebagaimana dijelaskan pada sejumlah kitab-kitab fikih klasik.
Pernyataan yang banyak di nukil dan disetujui para ulama lain ialah dari Imam an-Nawawi
rahimahullah, beliau berkata, "Hukum
kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal
yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia
melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah
(pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad
mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan
untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh.
Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil” Ucapan senada juga diutarakan oleh
Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk
menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah,
demikian penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah,
asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya"
2.
Bank
syariah hakekatnya menjalankan akad utang piutang dan bukan akad mudharabah
dalam hubungannya dengan nasabah.
Melalui
kamuflase dalam akad dan istilah syar’i oleh bank syariah tidaklah lantas
merubah hakekat sesungguhnya dari susbtansi akad utang piutang yang tersisip
dalam skenario status ganda bank tersebut. Berikut ilustrasi akad utang piutang
yang tersisip dalam skenario status ganda bank syariah yang berlabel akad
mudharabah: Pihak bank yang dalam status pertama menyatakan sebagai pelaku
usaha dan menerima modal dari nasabah investor/penabung (nasabah seperti kreditur dalam akad utang-piutang
bank konvensional) kemudian bank tidak amanah untuk menjalankan perannya
sebagai pelaku usaha sesuai akad mudharabah dimaksud namun bank syariah malah
kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada pihak nasabah lain sebagai
pelaku usaha yang sesungguhnya dan bank menuntut pengembalian dana seiring
waktu berjalan beserta bagi hasilnya (nasabah seperti debitur dalam akad
utang-piutang bank konvensional), pada kali ini bank memposisikan diri sebagai
pemodal yang pada hakekatnya uang modal yang ada pada bank merupakan uang milik
nasabah pada akad mudharabah pertama. Jadi substansi dari skenario status ganda
perbankan ini ialah bank berupaya mengalokasikan dana terhimpun dari pihak lain
yang dijanjikan akan kembali dananya beserta bagi hasilnya seiring waktu
berjalan. Keuntungan bagi hasil dari suatu usaha kosong yang pada hakekatnya
tidak pernah dilakukan oleh bank kecuali hanya menyalurkan dana kepada pihak
lain serta mengambil keuntungan riba atasnya.
3.
Masih
terdapat plagiasi aturan kegiatan usaha oleh bank syariah terhadap aturan kegiatan
bank konvensional di dalam undang-undangnya sehingga menimbulkan masalah dalam
implementasi akad mudharabah bank syariah.
Penjelasan Bank Indonesia dalam Ikhtisar Undang
-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa “Bank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada dasarnya
melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan
lainnya.” Dari
pernyataan undang-undang itu jelas bahwa bank syariah ialah semacam lembaga
perantara (intermediary) antara sektor yang kelebihan dana (surplus) dan sektor
yang kekurangan dana (minus). Suatu aturan yang kontradiktif dengan aturan akad
mudharabah itu sendiri. Akad mudharabah lebih relevan kepada akad dalam
perniagaan jual beli sedangkan yang lebih relevan kepada aturan undang-undang
bank syariah tersebut dalam konteks penghimpun dan penyalur dana dimaksud ialah
akad pinjam meminjam maupun sumbangan yang berorientasi sosial, komersialisasi
dalam akad pinjam meminjam bisa menimbulkan riba. Berikut ilustrasi kesamaan
bank syariah denga konvensional menurut undang-undang tersebut: Bank menerima simpanan berupa giro,
tabungan dan deposito dari pihak kelebihan dana. Dana yang terhimpun lalu
disalurkan ke pihak-pihak yang memerlukan dalam bentuk
kredit/pinjaman/pembiayaan. Pihak yang
kelebihan dana mendapatkan imbalan atas dana yang ditempatkan di bank yaitu
berupa bunga/bagi hasil. Pada sisi lain pihak yang minus atau memanfaatkan
kredit / pinjaman/pembiayaan dari bank harus membayar imbalan kepada bank
berupa bunga/bagi hasil/margin. Biaya
operasional dan laba bank diperoleh dari selisih imbalan yang diberikan oleh
pihak yang memanfaatkan dana (debitur) dengan imbalan yang diberikan bank
kepada nasabah deposan. Maka demikian tampaklah jika fungsi bank syariah
sama dengan bank konvensional. Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat
lalu disalurkan kepada pihak yang membutuhkan (fungsi intermediary), mekanisme
fungsi intermediary penghimpunan dana nasabah dan penerapan akad mudharabah dua
pihak oleh bank terhadap posisi nasabah pertama sebagai investor kemudian
melakukan penyaluran pada nasabah kedua yang diposisikan sebagai pelaku usaha,
maka pada hakekatnya bank hanya melakukan instrumen pendanaan utang piutang
kemudian mengambil keuntungan atas transaksi tersebut maka jatuhlah pada riba. Dari
sini semakin jelas jika instrumen yang mengacu pada undang-undang perbankan
syariah tidak bisa kompatibel dengan akad mudharabah yang sesuai dengan prinsip
syari’ah.
4.
Undang-undang
Perbankan syariah tidak mengisyaratkan bank syariah untuk memiliki usaha riil
dan terjun langsung dalam dunia usaha, maka dengan hal ini sesuatu yang musykil
bagi bank syariah dalam menjalankan akad mudharabah pada usaha riil yang
hakekatnya memang tidak pernah dimiliki.
Mengacu pada UU
No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 4 ayat 1
dan 2 menyebutkan:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank
Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sedangkan Pasal
19 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah Pada ayat (1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan ayat (2) Kegiatan
usaha UUS pada poin a,b, c dan d dengan pernyataan isi poin yang sama yakni meliputi:
a.
menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.
menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.
menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.
menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Maka jelaslah semua jenis produk
perbankan syari’ah hanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian,
pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur
dana nasabah. Hal ini menjadikan kita sulit untuk mendapatkan perbedaan antara
perbankan syari’ah dan perbankan konvensional
Karena bank
syariah hakekatnya tidak mempunyai usaha riil, selain memudharabahkan kembali
dana nasabah maka kemungkinan lain dana nasabah pertama disalurkan dalam bisnis
pembiayaan bank (murabahah) sebagai core
bisnis keduanya bank syariah. Sebagai pihak yang beritikad baik dan
berinvestasi dalam usaha yang dikelola bank syariah maka perlu pula bagi kita
untuk mengetahui apakah bisnis yang dijalankan oleh bank syariah sudah benar
dan sesuai syariah. Dalam menjalankan produk usaha pembiayaan (bai’al
murabahah) maka bank syariah memposisikan diri sebagai penjual barang (skenario
ini agar terpenuhinya akad syar’i, bank harus membeli dahulu barang yang akan
dijual kepada konsumen) untuk sejumlah barang-barang konsumtif yang dibutuhkan
seperti kendaraaan bermotor, rumah dan lainnya sesuai DSN pada fatwanya No:
04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: "Bank membeli barang yang
diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan
bebas riba." (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI ).
Namun adakah
bank syariah yang benar-benar mempraktekan ini, dalam praktek sistem murabahah
yang dilakukan bank syariah tidak bersesuaian dengan fatwa DSN seperti contoh
kasus proses pembiayaan murabahah di Bank BNI syariah cabang Medan dimana
nasabah diharuskan membayar uang muka (urbun) sebesar 20% dari nilai kredit
yang diajukan kepada pihak developer terlebih dahulu untuk mengambil KPR dengan
angsuran 10 tahun, dengan margin keuntungan sebesar 9,5% (margin biasa
ditentukan terlebih dahulu oleh bank sesuai lamanya waktu angsuran). Bahkan
pada kasus skema murabahah bank syariah lainnya kondisi rumah KPR tersebut saat
akad belum selesai dibangun oleh developer. Dari kasus-kasus tersebut terdapat
kritikan buat bank syariah yakni bank memberikan piutang buktinya nasabah
membayarkan urbun ke developer dan bukan kepada bank maka ini tidak tepat dikatakan
hubungan jual beli antara bank dengan konsumen, jika pun diasumsikan bahwa bank
melakukan aktifitas penjualan maka bank menjual sesuatu yang sepenuhnya belum
diserah terimakan kepadanya, demikian pula dengan kasus akad KPR pada skema
murabahah yang diadakan sebelum rumah selesai dibangun oleh developer, maka sejumlah
larangan hadits yang dilanggar bank syariah dalam kasus tersebut:
1) Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada
Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut
ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki.
Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah
bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau
menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu Daud, no. 3505; dinilai
sahih oleh Al-Albani)
2) Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai
menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala
sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3) Dari Nafi’, dari
‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya
hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
4) Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan
tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari
tempatnya.” (HR. Muslim)
5) Dalam riwayat
lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan, “Kami
dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.
Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits di atas menunjukkan
beberapa hal:
1)
Terlarangnya
menjual barang yang belum selesai
diserahterimakan.
2)
Larangan
menjual barang yang belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi bahan
makanan dan barang lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.
3)
Barang
yang sudah dibeli harus berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual kembali
kepada pihak lain.
Secara garis besarnya praktek akad pembiayaan murabahah
baik untuk pembiayaan renovasi rumah, pembelian kendaraan bermotor, pembelian
rumah KPR, pengadaan modal kerja maupun pengadaan barang lain pada umumnya
berjalan dengan skema bank (Ba`i
al-Murabahah) membelikan terlebih dahulu barang tersebut dari supplier kemudian penjual
(ba’i) menjual barang tersebut pada konsumen ( musytari) melalui akad murabahah
dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang telah disepakati antara
ba’i dan musytari, namun dalam upaya memperkecil resiko maupun secara hakekat
yang mana bank syariah tidak memiliki tempat gudang menyimpan stok
barang-barang dagangannya serta tidak pula mendapat dukungan dari undang-undangnya
maka dalam prakteknya diminta penyetoran uang terlebih dahulu dari nasabah
(konsumen) sebagai bagian atas modal yang akan di belanjakan bank syariah
kepada suplier atas barang-barang yang belum dalam penguasaan jual bank sepenuhnya.
Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya terkait dengan penanganan
dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya ditanda-tangani sebelum ba’i
mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari, dalam kontrak tersebut musytari-lah
yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan
pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi yang benar. Musytari sendirilah
yang menanggung semua tanggungjawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan
dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i (bank) tidak berkeinginan memikul
tanggungjawab yang terkait dengan barang, karena itu segala risiko yang terkait
dengannya yang secara teoritis harus ditanggung ba’i, secara efektif telah
terhindarkan. Musytari (konsumen) menyelesaikan kerugian tersebut bukan dengan
ba’i (bank) akan tetapi dengan pihak supplier langsung. Dari proses ini
merupakan keniscayaan penyimpangan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap
fatwa DSN No:
04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah dan tentu saja juga terhadap ketentuan
syariat. Penyimpangan syariah dalam proses serah terima ini
akan terus berlangsung selama bank tidak memiliki gudang sendiri buat
barang-barang yang akan dijualnya, bahkan lebih aneh lagi dalam proses
pembiayaan renovasi rumah dimana pihak bank memberikan dana yang kemudian dengan
sebuah surat kuasa dari ba’i (bank), konsumen (musytari) diberi amanah untuk membeli
bahan-bahan bangunan yang dibutuhkannya kemudian musytari menunjukan bukti
pembelian berupa nota ataupun faktur, kejadian ini makin menjelaskan posis bank
dengan konsumen lebih kepada sebagai pembiaya serta sekedar mengurus birokrasi
dokumen dan bukan lazimnya seperti hubungan penjual kepada pembeli.
Dalam konsep pembiayaan murabahah secara syar’i bank
memposisikan sebagai penjual dan bukan pemberi piutang, namun tidak lazimnya dalam
sebuah perusahaan yang memiliki aktifitas jual beli dengan segenap stok dan
mutasi persediannya, bank syari’ah tidak memiliki dan mengakui mempunyai stok
dalam laporan keuangannya sebagaimana terdapat pada laporan keuangan bank
maumalat dan bank syariah mandiri berikut ini :
Laporan Keuangan BSM
|
Nampak Akun persediaan pada neraca bersaldo nihil
|
Sumber: http://www.syariahmandiri.co.id
|
|
Laporan Keuangan Bank Muamalat
|
Nampak Akun persediaan pada neraca bersaldo nihil
|
Sumber: http://www.muamalatbank.com
|
5.
Bank
tidak siap menanggung kerugian
Akad Mudharabah
adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena
itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah.
DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi
pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tatapi praktek bank syariah perlu
ditinjau ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: "LKS
(lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian
akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian." (Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI). Para ulama dari berbagai madzab telah menegaskan bahwa
pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan
jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada
perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan
seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang
batil. Dalam ilmu fikih bila suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka
akad persyaratan tersebut tidak sah sehingga masing-masing harus mengembalikan
seluruh hak-hak lawan akadnya atau akad tetap dilanjutkan dengan meninggalkan
persyaratan tersebut. Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa
yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan
ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan
dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan
mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis
teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN
secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan
syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia
mengalami kerugian usaha.
6.
Nasabah
Tidak siap menanggung kerugian
Ketidakpahaman
serta mengikuti hawa nafsu mengejar keuntungan bisa jadi masih merupakan domain
terbesar pada kelompok nasabah bank syariah,
umumnya para nasabah investor (penabung) hakikinya bukan memiliki niat
dan mental berwirausaha dengan bank untuk menjalankan suatu usaha yang bisa laba
dan bisa pula merugi, bisa ditanyakan sebagai uji mental kepada mereka dan perhatikan reaksinya dengan menanyakan bagaimana
jika usaha yang dikelola bank merugi sehingga dana nasabah tersebut berkurang
atau habis tak bersisa, hampir bisa dipastikan umumnya nasabah akan dengan
tegas menolak keadaan tersebut dan menginginkan dana yang pernah disetor itu
harus aman bila tidak ada bagi hasil maka setidaknya uang mereka kembali utuh
seperti semula. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa sebenarnya mereka adalah
pemberi piutang kepada bank syariah, bukan pemodal. Maka keutungan yang mereka
peroleh dari bank dan sebelumnya telah disepakati adalah riba.
7.
Semua
nasabah mendapatkan bagi hasil
Fakta perbankan syariah sebagaimana
dilansir informasi berita majalah modal dalam buku Muhammad arifin badri bahwa
telah terjadi over likuiditas dimana bank syariah kebanjiran dana nasabah
sebesar 6,62 triliun sementara yang berhasil digulirkan hanya 5,86 triliun
sehingga tidak mampu menyalurkannya sisanya yang kemudian di simpan di Bank
Indonesia dalam sertifikat Wadiah. Kejadian tersebut menunjukan Bank syariah
mencampur adukan seluruh dana yang masuk kepadanya tanpa dipilah mana yang
sudah disalurkan maupun yang belum
tersalur. Keanehannya tampak pada setiap akhir bulan seluruh nasabah
mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Pertimbangan bank dalam membagi
keuntungan hakekatnya adalah total modal bukan keuntungan yang diperoleh dari
dana masing-masing nasabah. Pembagian keuntungan tersebut menjadi masalah besar
dalam metode mudharabah yang benar-benar islami. Pembagian hasil kepada nasabah
yang dananya belum tersalurkan selain merugikan nasabah yang dananya telah
tersalurkan juga menunjukan indikasi adanya riba.
8.
Metode
bagi hasil yang berbelit-belit
Metode hitung
dan contoh kasus diambil dari buku Muhammad Arifin Badri (2010: 173-175). Berikut
metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syari’ah di
Indonesia:
E=Pendapatan rata-rata investasi dari
setiap 1000 rupiah dari nasabah
Maka jelaslah diketahui dalam
perhitungan skema diatas adalah total modal (dana) nasabah. Jika kita
bandingkan dengan metode perhitungan
hasil mudharabah yang benar-benar syar’i dengan rumus hitung nya:
Bagi hasil
nasabah=keuntungan bersih x nisbah
nasabah x nisbah modal nasabah dari
total uang yang dikelola oleh bank
Perbedaan antara dua metode tersebut
bisa diketahui dari contoh kasus berikut. Pak ahmad menginventasikan modal
sebesar Rp 100.000.000, dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk
pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank berjumlah Rp
10.000.000.000 (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1% dari
keseluruhan dana yang dikelola bank. Pada akhir bulan bank berhasil membukukan
laba bersih sebesar Rp 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank setelah melalui
perhitungan yang berbelit belit menentukan bahwa pendapatan investasi dari
setiap Rp 1000 adalah Rp 11,61. Bila menggunakan metode perbankan syariah maka
hasilnya:
100.000.000 x 11,61 x 50
= Rp 580.500
1000 100
Pak Ahmad hanya mendapat Rp 580.500,
sedangkan jika menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya maka hasilnya
sebagai berikut:
100.000.000 x 50 x . 1 .
= Rp 5.000.000
100 100
Dengan metode perhitungan mudharabah
yang benar Pak Ahmad mendapatkan bagi hasil yang lebih menguntungkan.
9.
Bagi
hasil yang tidak riil
Menurut sumber
Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa keuntungan perbankan syariah
dihitung menggunakan performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi
tujuan investasi, berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat
mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi
/proyeksi return investasi, historis (track record) dari aktivitas investasi
bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari
seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil.
Estimasi maupun prakiraan dan prediksi yang dijadikan dasar perhitungan
keuntungan bukan dari usaha riil memiliki keserupaan dengan perhitungan bunga
bank atas modal yang jauh-jauh hari bisa diketahui kisaran pasti besaran
nilainya.
10. Dana Nasabah
perbankan syariah pasti aman meski bank merugi
Menurut sumber
Bank Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa dana nasabah yang disimpan di
bank syariah tidak akan berkurang atau hilang meskipun investasi yang dilakukan
bank syariah mengalami kerugian. Di samping itu, Tabungan iB (Islamic Banking)
dengan skema titipan maupun investasi juga dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) sesuai dengan Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Tabungan iB, baik dengan skema titipan maupun skema
investasi termasuk yang dijamin oleh LPS hingga nilai maksimal Rp 2 miliar.
Menjadi jelaslah bahwa akad mudharabah yang dipraktekan bank syariah merupakan
sekedar pelabelan tanpa makna, jika dana nasabah pasti aman tak akan merugi
sementara jika laba pasti juga terbagi maka apa yang membedakannya dengan riba
(bunga uang) pada bank konvensional.
IV.
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan
data, tinjauan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Undang-undang
perbankan syariah masih merupakan plagiasi kepada aturan perundang-undangan
perbankan konvensional sebelumnya.
2.
Status
ganda bank dalam akad mudharabah terhadap dua pihak (nasabah investor/penabung
dan juga dengan nasabah pelaku usaha/pengguna modal) tidak sesuai dengan fikih
mudharabah yang dikenal oleh para ulama.
3.
Bank
syariah dan nasabah sama-sama tidak siap dalam menanggung kerugian yang merupakan
keniscayaan dalam pola hubungan usaha yang bisa untung dan merugi.
4.
Selama
Perbankan syariah tidak terjun langsung dalam dunia usaha dan hanya mencukupkan
diri sebagai penyalur dana nasabah maka tidak akan pernah terhindar dari riba.
5.
Semua
nasabah pasti mendapat bagi hasil, jaminan uang nasabah tidak akan mengalami
kerugian dan perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit tidak sesuai akad
mudharabah murni yang diajarkan islam
4.2
Saran
Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, saran yang dapat diberikan adalah:
- Diperlukan Political will dari pemerintah untuk merivisi undang-undang perbankan syariah
- Pemilahan Nasabah berdasarkan tujuan masing-masing baik yang sekedar mengamankan hartanya bank syariah bisa menerapkan akad utang piutang tanpa bunga dan nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan investasi melalui perbankan.
- Perbankan syariah langsung terjun ke sektor riil serta memiliki berbagai unit usaha yang nyata dan menguntungkan, maka dengan ini pula bank akan membuka lowongan kerja baru untuk melengkapi potensi sumber daya manusia bagi bisnis bank
- Perbankan menerapkan mudharabah sepihak dengan menerima investasi untuk kemudian membiayai unit usaha riil bank dan tidak menyalurkan lagi ke nasabah dengan skema mudharabah kedua.
- Memilah pos-pos investasi dari setiap pos-pos investasi para nasabah, masing-masing pos berbeda dari pos-pos lain dalam segenap operasional dan pembukuannya.
- Melakukan edukasi yang sistematis dan kontinyu terhadap bahaya riba, pengetahuan soal mudharabah dan menanamkan spirit muamalah islami baik terhadap masyarakat maupun pihak yang ingin bekerja pada institusi keuangan islami.
DAFTAR REFERENSI
[1] Afifuddin, Muhammad. 2006. Macam - macam
Riba. Yogyakarta. Diambil dari http://asysyariah.com/macam-macam-riba.html
[2]
Antonio, Syafi’i Muhammad. 2001. Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
[3]
Ananta, Irwin. 2012. Tinjauan Kritis Praktek Mudharabah Pada Perbankan Syariah.
Bandung. Proceeding Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi (SNIT) Juni 2012,
ISBN 978-602-99213-2-2 halaman E-79 – E-90. Penerbit LPPM BSI
[4]
Ananta, Irwin. 2013. Tinjauan Riba Pada Perbankan Konvensional. Jakarta. Jurnal
Ekonomi dan Manajemen Akademi BSI Perspektif Vol XI No 1Maret 2013, ISSN
1411-8637 , halaman 78 - 90. Penerbit: LPPM BSI
[5]
Badri, Arifin Muhammad. 2010. Riba
dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah. Bogor: Pustaka
Darul Ilmi.
[6] Badri, Arifin Muhammad. 2010. Tinjauan Kritis Perbankan Syariah. Jakarta.
Makalah Seminar Nasional KPMI
[7] Badri,
Arifin Muhammad. 2010. Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap
Keuntungan dari Piutang Adalah Riba. Yogyakarta. Diambil dari http://pengusahamuslim.com/kaidah-penting-seputar-transaksi-riba-setiap-keuntungan-dari-piutang-adalah-riba#.UxBYsc6gtmN
[8] Badri, Arifin Muhammad. 2010. Mengenal
Hukum Riba. Yogyakarta.
Diambil dari
[9] Bank Indonesia. 2008. Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah.
Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4-6CF9-4DF5-A674-0073B0A6168A
/15000/ Iktisar_uu_21_2008.pdf
[10] Bank
Indonesia.2008. Undang -
Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A-
BC75-9858774DF852/14396/UU_21_08_Syariah.pdf
[11] Bank Indonesia.2008. Menghitung Bagi Hasil
IB. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D6B8DE61-4B67-4C34-
BCB3-4959A394CE1C/17636/Menghitung_Bagi_Hasil_iB.pdf
[12] Bank Indonesia.
2008. Mari Berbagi Hasil bersama IB. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2D0FE686-FAA7
-4369 -A064-66CFA2D9886C/17651/ Mari_ Ber bagi_Hasil.pdf
[13] Bagya Agung Prabowo.
2009. Konsep
Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisa Kritis Terhadap Aplikasi Konsep
Akad Murabahah Di Indonesia Dan Malaysia). Yogyakarta:
Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 Januari 2009: 106 – 126.
Diambil dari http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/bagya%20agung%20prabowo.pdf
[14] Bank
Muamalat.2010. Laporan Keuangan Konsolidasi
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dan Anak Perusahaan.Jakarta. Diambil darihttp://www.muamalatbank.com/assets/pdf/financial/Laporan%20Keuangan%20Publikasi%20Desember%202010%20-
%20Final.pdf
[15] Bank Syariah Mandiri. 2011. Laporan Keuangan
PT Bank Syariah Mandiri dan Perusahaan Induk. Jakarta. Diambil dari http://www.syariahmandiri.co.id/wpcontent/uploads/2010/03/LpKeu-Publis
toREPUBLIKA-WARNA-1.5hal-juni2011-to-email.pdf
[16]
DSN MUI. 2000. Fatwa DSN MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiyaan Mudharabah (Qiradh). Jakarta. Diambil dari
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=:55fatwa-dsn-mui-no-no-07dsn-muiiv
2000-tentang-pembiayaan-mudharabah-qiradh-&catid=57:fatwa-dsn-ui.
[17]
DSN MUI. 2000. Fatwa DSN MUI No.
04/DSN-MUI/IV/ 2000 Tentang Pembiyaan Murabahah. Jakarta Diambil dari http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=151:fatwa-dsn-mui-no-04dsnmuiiv2000-tentang-murabahah&catid=57:fatwa-dsn-mui
(01 Mei 2012)
[18] Priastomo, Titok. 2013. Pengertian Riba, Jenis-jenis Riba, Contoh-contoh Riba. Jakarta. Diambil dari http://www.al- khilafah.org/2013/ 01/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh.html
[19] Shomad, Abdus
Muhammad. 2010. Sekilas Praktek Bank Syari’ah Di Indonesia. Jakarta. Makalah
Seminar Nasional KPMI
[20] Sugiawati. 2009. Skripsi: Analisis Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayan Murabahah di BNI Syari’ah Cabang
Medan. Medan. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
[21] Tim Redaksi.2007. Perbedaan Antara Riba Fadhl Dan Riba Nasi'ah. Jakarta. Diambil dari http://almanhaj.or.id/content/2201/slash/0/perbedaan-antara-riba-fadhl-dan-riba-nasiah/
[22] Tuasikal Abduh Muhammad.2012.Riba dalam emas. Yogyakarta.
Diambil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dalam-emas-dll-riba-fadhl.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar